Yogya Sudah Terbiasa dengan Bencana
Gunung Merapi kembali mengalami erupsi, Jumat (11/5) pagi sekitar pukul 07.32 WIB. Bukan letusan yang dahsyat memang jika dibandingkan letusan-letusan besar yang terjadi sebelumnya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan erupsi kemarin adalah letusan freatik, yakni letusan yang terjadi karena dorongan tekanan uap air yang terjadi akibat kontak massa air dengan panas di bawah kawah Merapi.
Sebelumnya, di Merapi memang beberapa kali terjadi letusan freatik. Biasanya, letusan hanya berlangsung sesaat yang ditandai dengan suara gemuruh.
Meskipun hanya letusan ‘kecil’, BNPB tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. Masyarakat yang tinggal dalam radius 5 kilometer diminta untuk evakuasi ke barak pengungsi. Namun, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) pun memperkirakan erupsi susulan tidak akan terjadi.
Meskipun demikian, Jumat pagi itu lini masa di berbagai media sosial maupun obrolan di WhatsApp Group (WAG) ramai menyoal letusan Merapi. Meskipun terjadi di Yogyakarta, banyak orang dari daerah-daerah lain ikut membicarakan peristiwa itu seolah letusan tersebut merupakan sebuah bencana yang besar.
Saya sendiri saat letusan terjadi sedang berada di rumah yang terletak di Desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, sebuah wilayah dengan jarak sekitar 19,5 kilometer dengan lokasi gunung tersebut. Sempat kaget akan suara gemuruh, saat melihat keluar rumah ternyata tak banyak yang berubah dari aktivitas warga.
Para tetangga saya melakukan hal-hal yang biasa dilakukan setiap pagi, seperti menyapu halaman, mengepel teras, maupun menjemur pakaian. Sebagai pendatang di wilayah tersebut, saya belum tahu banyak mengenai sejarah desa tersebut saat erupsi Merapi di masa lampau. Namun dari aktivitas warga yang terlihat ‘biasa-biasa saja’ dapat saya simpulkan bahwa mereka sudah cukup sering menjadi saksi erupsi Merapi.
Saat menuju ke kantor di bilangan Kotabaru pagi itu, suasana juga terlihat normal. Jalan Kaliurang yang biasa saya lalui tak terlalu padat dan tak ditemui warga yang terlihat panik. Semuanya terlihat normal.
Melihat fenomena tersebut, bisa saya simpulkan bahwa masyarakat DIY dan sekitarnya sudah biasa dengan segala macam bencana ‘kecil’. Maklum, beberapa tahun yang lalu pernah terjadi bencana yang lebih dahsyat daripada sekedar letusan freatik Gunung Merapi.
Pada tahun 2010, erupsi dahsyat gunung yang berdiri di atas empat kabupaten tersebut menewaskan sebanyak 337 orang. Sedangkan empat tahun sebelumnya erupsi gunung tersebut merusak kawasan wisata Kaliadem dan menewaskan dua orang relawan.
Seperti tahun 2006 dan 2010, letusan kemarin juga ditandai dengan adanya hujan abu vulkanik, meskipun tipis. Namun tidak seperti erupsi yang meninggalkan luka bersama dengan gempa bumi 2006, kali ini masyarakat Yogyakarta jauh lebih tenang dan dewasa dalam menyikapinya.