Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
10/18/2019 / Uncategorized

Yogya (Sedang tak) Berhati Nyaman

Yogyakarta pernah memiliki slogan ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’. Beberapa tahun yang lalu slogan itu mungkin dianggap sebagai common sense, alias sesuatu yang lumrah diketahui banyak orang, mengingat Yogyakarta memang dikenal karena warganya yang ramah.

Namun, kini mungkin embel-embel ‘nyaman’ di belakang Yogya itu akan menjadi sebuah perdebatan. Apakah Yogyakarta masih senyaman dulu? Apakah orang-orang Yogya masih seramah dulu? Saya akan men­coba berargumen mengapa baru-baru ini Yogya tak menampakkan wajahnya yang ramah.

Saya merujuk pada peristiwa belum lama ini dimana terjadi dua kali kasus penolakan oleh dua institusi yang merepresentasikan Yogya, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Keraton Yogyakarta. Yang pertama adalah penolakan terhadap Ustaz Abdul Somad (UAS) saat hendak mengisi kuliah umum di Masjid Kampus UGM.

Penolakan berasal dari Rektorat UGM yang menilai acara tersebut tidak sesuai dengan jati diri UGM. Pada akhirnya, acara tersebut benar-benar batal dilaksanakan di UGM. Sebagai gantinya, UAS akhirnya mengisi ceramah di Universitas Islam Indonesia (UII).

Yang kedua, adalah penolakan terhadap acara Muslim United (MU) Jilid 2 di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Padahal, pada penyelenggaraan pertama tahun lalu, acara tersebut sukses diselenggarakan di tempat yang sama.

Penolakan berasal dari Keraton Yogyakarta yang notabene merupakan pemilik masjid tersebut. Masih belum jelas alasan penolakan tersebut, namun acara yang sempat berlangsung sehari di Masjid Gedhe, Sabtu (12/10), akhirnya harus dipindahkan ke Masjid Jogokariyan.

Kedua kasus tersebut, menurut saya, telah mengurangi sifat keramahan yang selama ini melekat de­ngan Yogya. Yang pertama dikarenakan Yogya selama ini identik dengan sikap terbukanya terhadap orang-orang dari luar Yogya. Tidak hanya bisa mene­rima secara fisik, Yogya selama ini juga sering dinilai terbuka terhadap nilai-nilai asing.

Penulis teringat saat menjalani kuliah sarjana di UGM kurang-lebih 10 tahun yang lalu. Saat itu, bisa ditemui begitu beragamnya ideologi yang bersemayam di kampus. Mulai dari ideologi Kanan, se­perti Islam, hingga ideologi yang sangat Kiri, misalnya Sosialis, Marxis dan lain sebagainya. Paham-paham seperti itu bisa berdampingan dan saling bertukar wacana di ruang publik.

Kini, alih-alih memiliki ideologi yang berbeda, berbeda pilihan politik saja dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Hal inilah yang penulis yakini merupakan latar-belakang dua kasus penolakan di atas. Baik UAS maupun event Muslim United memang menjadi pihak-pihak yang menjadi oposisi pemerintah pada kontestasi Pilpres 2019 lalu.

Kedua, penolakan-penolakan yang terjadi seolah menghilangkan identitas Yogya sebagai kota multikultural. Saat kasus Florence Sihombing, mahasiswa asal Medan yang kuliah S2 di UGM, mencuat beberapa tahun yang lalu sebenarnya bibit-bibit perpecahan tersebut sudah muncul. Namun kasus tersebut saat itu berhasil diredam salah satunya dikarenakan ke­wibawaan Sri Sultan Hamengkubuwono X serta diun­tungkan oleh sosok Florence yang bukan merupakan public figure.

Namun kali ini berbeda. UAS adalah seorang ulama yang menjadi junjungan banyak orang Islam. Begitu juga Muslim United, yang menurut hemat pe­nulis merupakan representasi kelompok baru Islam dari kalangan menengah ke atas. Kedua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan pekan lalu tersebut membuat seolah Yogyakarta menjadi wilayah yang antipati terhadap kultur dari luar, dalam hal ini kultur Islam yang baru.

Ketiga, terdapat kegagalan public relations dalam dua kasus tersebut. Baik UGM dan Keraton Yogyakarta seolah tak ingin terlalu ambil pusing dan cenderung me­remehkan dua peristiwa tersebut. Akibatnya, per­ma­salahan yang tadinya tampak kecil bisa membesar dalam waktu sekejap saja.

Faktor-faktor yang saya paparkan di atas kiranya sudah cukup menjelaskan mengapa Yogya baru-baru ini tampak tak ramah. Semoga ketidakramahan tersebut hanya berlangsung sementara dan tak menjurus pada konflik yang lebih besar. Ke depan, instutusi-institusi besar semacam Keraton dan UGM harus menunjukkan kebijaksanaannya dalam mengelola potensi konflik horizontal seperti ini.

Post navigation

Previous Post:

Sampai Kapan Kita Menjadi Bangsa Pecundang?

Next Post:

Ruang untuk Berbagi

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy