Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
04/03/2018 / Life

Selesaikan Sengketa Lahan Bandara Kulonprogo

 

 

Baru-baru ini, saya berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur, untuk menyelesaikan persoalan pembagian warisan keluarga. Konon, setelah dibangunnya Bandar Udara Banyuwangi tahun 2010 silam, masalah ini menghangat di internal keluarga mengingat jalan di depan tanah milik keluarga di Kecamatan Blimbingsari tersebut bakal menjadi salah satu jalan akses tembus ke bandara.

Sepulang dari wilayah yang dijuluki ‘The Sunrise of Java’ tersebut, saya jadi memikirkan ruwetnya persoalan yang dihadapi terkait pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo, DIY. Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo, mengungkapkan saat ini tersisa 11 Kepala Keluarga (KK) yang belum menyetujui pembangunan bandara yang terletak di Kecamatan Temon tersebut.

Meskipun lahan yang ditempati ke-11 KK dan belum dibebaskan tersebut hanya akan dipakai untuk fasilitas penunjang bandara, penolakan mereka cukup mengganggu rencana besar PT Angkasa Pura I (PT AP I) sebagai pemrakarsa pembangunan bandara tersebut. Bahkan seperti diutarakan kepada awak media, sejumlah warga penolak pembangunan bandara yang menamai dirinya Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP) memilih apatis dengan menganggap pembangunan tersebut tidak ada.

Alasan para warga penolak tersebut memang logis dan legal, jika dilihat dari sudut pandang hukum. Gampangnya, siapa yang berhak mengusir kita dari rumah kita sendiri? Tentunya siapapun tak berhak meskipun ada yang sanggup menawari uang sebesar berapapun.

Akan tetapi, alangkah baiknya jika warga melihat kepentingan yang lebih luas. Saat ini, sebagian besar warga yang tadinya bermukim di wilayah tersebut sudah pindah setelah mendapatkan ganti rugi atas tanahnya yang dipakai sebagai lahan bandara. Apalagi saat ini, perkara masalah lahan tersebut telah dituntaskan melalui proses konsinyasi sehingga keseluruhan lahan telah beralih menjadi milik negara.

Bagaimana segelintir warga yang tergabung dalam PWPP-KP tersebut melihat warga lain yang sudah terlebih dahulu menerima ganti rugi dan merelakan diri pindah ke tempat lain? Bagaimana juga mereka melihat proses pembangunan bandara yang telah lama dinanti masyarakat Yogyakarta tersendat-sendat hanya gara-gara sikap keras kepala mereka? Hal ini tentu harus menjadi bahan pertimbangan. Di sini sebaiknya kepentingan bersama diutamakan ketimbang kepentingan pribadi.

Sebaliknya, PT AP I dan pemerintah juga sebaiknya mawas diri setelah pendekatan yang selama ini dilakukan mendapatkan penolakan keras warga yang kemudian mendapatkan simpati dari sejumlah kalangan. Seperti diungkapkan seorang pakar hukum administrasi negara, Riawan Tjandra, sebaiknya pembangunan bandara tersebut jangan hanya memperhatikan aspek legal formal.

Memang secara Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah, tindakan yang dilakukan pihak pembangun bandara sudah dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, hal itu berpotensi memperpanjang usia konflik warga dengan pemerintah. Oleh karena itu, sebaiknya ditempuh cara-cara yang lebih persuasif dan manusiawi dalam hal pembebasan lahan ini.

Cara-cara mengedepankan dialog dan sikap kekeluargaan agaknya masih menjadi opsi terbaik mengingat kultur masyarakat Jawa yang sering bertindak sesuai filsafat Jawa: Ngono yo ngono, nanging ojo ngono (begitu ya begitu, tapi jangan begitu). Sekilas, kalimat tersebut tidak berarti apa-apa. Akan tetapi sebenarnya menggambarkan sifat sebagian besar masyarakat Jawa yang gampang-gampang susah. Semoga persoalan sengketa lahan untuk pembangunan bandara ini segera selesai agar Yogyakarta kembali berhati nyaman.

Post navigation

Previous Post:

Hoaks di Sekitar Kita

Next Post:

Pesantren dan Internet

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy