Ruang untuk Berbagi
Pada Jumat (15/11) pagi, saya berkesempatan mengikuti acara Sharing Session ‘Ilmu Komunikasi dan Aktualisasinya dalam Dunia Kerja’. Peserta kegiatan yang digelar di Hotel Eastparc, Yogyakarta, tersebut adalah para mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Meskipun hanya puluhan orang saja yang menjadi peserta, namun saya menangkap satu hal esensial yang menjadi esensi acara ini, yaitu keinginan para narasumber untuk berbagi pada adik-adik angkatannya. Para pemateri pada acara tersebut memang merupakan alumnus salah satu prodi favorit di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM tersebut.
Pada era disrupsi sekarang ini, kemampuan berbagi dan berkolaborasi memang telah menjadi syarat utama jika sebuah institusi atau perusahaan ingin bertahan di tengah persaingan yang datang dari berbagai penjuru. Penyebabnya, mengutip ucapan Rhenald Kasali, kompetitor tidak hanya datang dari apa yang tampak kasat mata, namun juga dari lawan-lawan yang tak terlihat.
Perusahaan taksi Blue Bird, yang 10 tahun lalu begitu mendominasi jalan-jalan raya di ibu kota melalui armada-armada berwarna biru, hanya dalam waktu singkat harus ‘menyerahkan singgasananya’ kepada perusahaan platform digital seperti Gojek dan Grab yang seolah muncul tak kasat mata . Blue Bird bahkan belakangan menempuh jalan berkolaborasi dengan Gojek. Tentu ini pilihan bijak ketimbang mati ditinggalkan pelanggannya.
Tak hanya di sektor bisnis, sektor pendidikan pun harus mampu mendisrupsi diri. Jika sebelumnya yang diciptakan adalah kultur kompetisi maka yang harus dikreasikan ke depan adalah kultur berbagi dan berkolaborasi. Hal ini memang bukan pekerjaan mudah. Terlebih ketika yang kita bicarakan adalah level perguruan tinggi yang seperti menara gading itu.
15-20 tahun yang lalu, para murid SMA akan dengan mudah menyebutkan nama-nama jurusan favorit yang menjadi impian mereka usai menamatkan pendidikan sekolah menengahnya. Hal itu disebabkan kala itu menjadi seorang mahasiswa masih menjadi sebuah status yang prestisius. Lulusan perguruan tinggi, apalagi universitas negeri, sudah hampir dipastikan memperoleh pekerjaan yang layak.
Bagaimana dengan hari ini? Apakah jurusan favorit masih memiliki nilai jual ketika lebih banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur daripada lulusan yang diterima bekerja? Berdasarkan data yang diekspos Badan Pusat Statistik (BPS) awal tahun ini, hingga Februari 2019 dengan perbandingan Februari 2017 lalu, terdapat kenaikan pengangguran terbuka dari lulusan universitas dan diploma. Pengangguran yang pada 2017 lalu berada di kisaran 5 persen naik menjadi 6,2 persen penganggur terbuka.
Masih menurut BPS, terdapat tiga faktor yang menyebabkan kenaikan jumlah pengangguran terbuka tersebut. Yang pertama adalah keterampilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Kedua, ekspektasi penghasilan dan status tinggi yang tidak terjawab dunia usaha. Ketiga penyediaan lapangan pekerjaan yang terbatas dan kian kompetitif.
Ketika generasi muda tidak lagi melirik perguruan tinggi karena peluangnya untuk memperoleh pekerjaan semakin sedikit maka di situlah alarm tanda bahaya sudah seharusnya dibunyikan oleh para akademisi. Mereka harus secepat mungkin mengubah kultur, jika tak ingin terlindas oleh zaman.
Maka dari itu, saya merasa senang ketika melihat para alumni Magister Ilmu Komunikasi UGM sangat antusias berbagi pada acara tersebut. Hal itu menandakan masih terdapat ruang-ruang yang diciptakan untuk berkolaborasi dengan pihak-pihak di luar universitas. Hal-hal seperti ini di masa depan menurut saya tidak hanya menyelamatkan perguruan tinggi, namun juga kembali meningkatkan daya tarik dunia akademik di kalangan anak-anak muda.