Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
05/05/2018 / Education

Pesantren dan Internet

Dua pekan yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi beberapa pondok pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka tugas memberikan pelatihan menulis (literasi) oleh Republika. Kunjungan tersebut cukup berkesan karena itu adalah kali pertama saya memberikan pelatihan di lingkungan pesantren.

Biasanya, saya mengisi pelatihan di kampus-kampus yang dihadiri oleh para mahasiswa atau khalayak umum. Meskipun secara bobot materi yang saya berikan lebih ringan, namun memberikan pelatihan kepada para remaja tanggung tak kalah tricky. Apalagi di lingkungan pesantren yang cukup asing bagi saya.

Para santri yang saya beri pelatihan mayoritas mengaku tak diperbolehkan mengakses internet di lingkungan pesantren. Namun, di luar dugaan pengetahuan mereka mengenai dunia luar tak kalah dengan siswa sekolah formal yang sudah biasa mengakses gawai pada keseharian mereka.

Di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, serta Ponpes Modern Islam Assalaam, Solo, saya cukup dikagetkan saat mendapatkan sejumlah pertanyaan kritis mengenai dunia jurnalistik. Dalam dunia tulis-menulis, pengetahuan para santri juga cukup mumpuni. Misalnya, saat salah satu dari mereka bisa menjelaskan dengan cukup fasih terkait salah satu jenis tulisan, yakni esai.

Bahkan hal itu juga saya temui di pesantren yang relatif kecil, yaitu Ponpes Mambaus Sholihin (Gresik) dan Ponpes Pabelan (Magelang). Terdapat banyak santri yang memiliki pandangan yang cukup modern. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisan mereka,

Dari kunjungan tersebut saya menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari pendidikan di lingkungan pesantren, dibandingkan dengan di sekolah formal. Meskipun dari luar institusi pesantren terlihat sangat tradisional, namun para kiai yang menjadi pengasuh mereka sehari-hari sukses menanamkan nilai-nilai modern kepada para anak didiknya.

Maka saya menjadi tak heran jika lahir tokoh-tokoh muda brilian dari lingkungan pesantren. Sebut saja penulis novel Negeri 5 Menara, A Fuadi yang merupakan lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo atau ahli terorisme, Noor Huda Ismail, yang merupakan jebolan Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo. Jika beralih pada daftar orang-orang yang lebih senior tentu akan terdapat lebih banyak nama lagi seperti Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Lukman Hakim Saifuddin, dan lain sebagainya.

Melihat fenomena yang saya temui tersebut, saya memiliki dua pandangan. Di satu sisi, kenyataan bahwa para santri ‘steril’ dari internet, namun tetap memperoleh update informasi tentang perkembangan dunia luar dari para kiai, merupakan hal yang positif. Artinya, negara ini masih memiliki generasi muda yang belum terpapar oleh efek negatif internet.

Namun di sisi lain, dengan revolusi teknologi yang kian masif agaknya masuknya internet ke pesantren tak mungkin dibendung lebih lama lagi. Jadi, mau tak mau pengelola pesantren mulai harus mempersiapkan cara menangkal efek buruk dari internet sejak sekarang.

Masuknya internet sebenarnya juga bisa ditangkap sebagai peluang oleh pihak pesantren. Beberapa waktu lalu, Republika sempat membuat program bernama Santri Indigo, dimana para santri diajarkan untuk menyebarkan ‘virus’ positif ke dalam internet. Hal itu tentunya merupakan program yang bagus untuk diterapkan, meskipun untuk melakukannya para santri harus terlebih dahulu dibekali dengan kemampuan literasi.

Post navigation

Previous Post:

Selesaikan Sengketa Lahan Bandara Kulonprogo

Next Post:

Yogya Sudah Terbiasa dengan Bencana

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy