Perjalanan ke Tanah Minang
Pekan lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Provinsi Sumatera Barat. Perjalanan tersebut merupakan bagian dari acara press tour tahunan yang diselenggarakan Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta.
Saya cukup antusias mengikuti tur tersebut meskipun tidak berada dalam kondisi 100 persen fit. Maklum saja, sebelumnya saya belum pernah mengunjungi wilayah tersebut. Selama kurang-lebih 10 tahun menjadi wartawan, saya belum mendapatkan kesempatan mendatangi tanah Minangkabau.
Alhasil, saya berusaha mengingat setiap detail perjalanan saya ke Sumbar, dimana kali itu kami mengunjungi beberapa lokasi, baik di Padang maupun kota dan kabupaten sekitarnya seperti Bukittinggi, Batusangkar, Padang Panjang, dan Tanah Datar.
Tiba pada Kamis (15/2) dini hari, kami menginap selama beberapa jam di sebuah hotel di Padang, sebelum menuju Bukittinggi keesokan harinya. Melalui jalan darat dengan menumpang bus, kami serombongan menuju kota yang pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tersebut.
Terbatasnya pilihan moda transportasi membuat perjalanan kami selama di Sumatera Barat terasa panjang. Misalnya, perjalanan dari Padang ke Bukittinggi yang berjarak 90 kilometer harus kami tempuh hampir selama tiga jam meskipun lalu lintas tidak terlalu ramai. Selain dikarenakan lebar jalan yang sempit, lamanya waktu tempuh juga diakibatkan medan yang sulit, dimana kami sering melewati daerah perbukitan yang jalannya berkelok-kelok.
Sebagai orang yang sudah lebih dari 30 tahun tinggal di Jawa, saya menjadi bersyukur karena jika kita menempuh perjalanan dari Yogyakarta ke Kota Solo misalnya, jarak 60 kilometer hanya memakan waktu satu jam dengan transportasi kereta api. Persoalan akses dan infrastruktur agaknya masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah-pemerintah daerah di Sumatera.
Hal itu kembali menjadi perhatian saya saat kami mendatangi sejumlah objek wisata menarik pada hari kedua di tanah Minang. Saat itu, kami mendatangi tempat-tempat seperti pusat oleh-oleh Kampung Pandai Sikek, Bika Talago, dan Puncak Lawang.
Saat menuju ke Puncak Lawang, yang mengingatkan saya dengan objek wisata Kalibiru di Kulonprogo, bus kami bahkan harus menempuh jalur utama rute Bukittinggi-Maninjau yang melalui sebanyak 44 kelokan curam (Kelok 44). Rasa ngeri pun selalu menghampiri tiap kali bus kami berpapasan dengan bus atau truk dari arah berlawanan.
Sempitnya jalan raya membuat bus dengan ukuran besar selalu kesulitan saat melalui kelokan. Apalagi dari dalam bus kami bisa melihat dalamnya jurang di bagian bawah meskipun samar-samar kami bisa melihat panorama indah Danau Maninjau yang tertutup kabut.
Berwisata di Sumbar rasanya seperti hanya menghabiskan waktu di perjalanan saja. Contoh pada hari keempat, dimana kami berangkat pukul delapan pagi dan baru kembali penginapan pukul 10 malam. Kami hanya sempat singgah di tiga lokasi saja, yakni Lembah Harau, pabrik kopi tradisional Kiniko, dan Istana Pagaruyung. Hal itu dikarenakan dalam sehari kami mesti melintasi sejumlah kota/ kabupaten yakni Bukittinggi, Payakumbuh, Tanah Datar, dan Batusangkar.
Saat menginjakkan kaki kembali di Yogyakarta, saya menjadi bersyukur bahwa kota yang saya tinggali ini masih memiliki akses jalan yang lebih baik, terutama dibandingkan daerah-daerah di luar Jawa. Jalan antarprovinsi di sini sudah memiliki lebar jalan yang memadai meskipun selalu terjadi kemacetan setiap akhir pekan dan hari-hari libur nasional.
Namun harus diakui masih ada sejumlah wilayah seperti di Gunungkidul dan Kulonprogo yang kualitas infrastrukturnya masih perlu peningkatan. Begitu juga sarana dan prasarana transportasi, seperti Bandara Adisutjipto yang dianggap sudah tak mampu lagi menampung tingginya minat kunjungan ke DIY.
Oleh karena itu, pembangunan bandara di Kulonprogo atau New Yogyakarta Airport (NYIA), terlepas dari segala kontroversinya, sudah selayaknya didukung. Hal itu merupakan kewajiban seandainya pemerintah daerah benar-benar ingin mewujudkan DIY sebagai kota pariwisata.