Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
02/15/2019 / Life

Perayaan Valentine

Pada 14 Februari lalu, cukup banyak orang Indonesia merayakan hari Valentine. Konon, pada tanggal itu sering diperingati sebagai hari kasih sayang meskipun sebenarnya tidak ada satu pun ne­gara di dunia yang menjadikannya seba­gai perayaan yang bersifat nasional (publik).

Sama halnya seperti saat perayaan Tahun Baru, banyak peristiwa yang cenderung negatif mewarnai perayaan tersebut. Jika malam Tahun Baru biasanya ditandai dengan ajang hura-hura, minum minuman keras, pesta sampai larut malam, dan pelemparan petasan, maka tak jarang hari Valentine ditandai praktik pergaulan bebas yang menjurus pada seks bebas.

Dalihnya, tentu saja demi kasih sayang yang biasanya identik dengan pasangan muda-mudi yang belum menikah. Padahal, seharusnya kasih sayang lebih bermakna luas. Tidak hanya mencintai pasa­ngannya saja, namun juga orang tua, lingkungannya, agamanya, atau bahkan tanah airnya.

Sejumlah pemerintah daerah pun telah menyikapi fenomena yang populer di kalangan anak muda ini. Seperti yang terjadi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dimana pemerintah daerah setempat me­ngeluarkan edaran berupa larangan perayaan hari Valentine. Hal yang sama pun terjadi di sejumlah daerah lain. Alasan yang diungkapkan biasanya karena ketidaksesuaian Valentine, yang berasal dari budaya Barat, dengan budaya Indonesia.

Di Kabupaten Sleman, DIY, kemunculan undangan perayaan Valentine dari kelompok yang mengatasnamakan Komunitas Pria Se-DIY di media-media sosial cukup menggemparkan masyarakat. Apalagi, diindikasikan kelompok tersebut merupakan bagian dari komunitas Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).

Untungnya, polisi bergerak cepat merespons aduan masyarakat tentang rencana pertemuan tersebut. Sehari sebelum hari H, acara tersebut telah dikonfirmasi pembatalannya karena tidak adanya permintaan izin dari sang pembuat acara.

Sebenarnya, pelarangan maupun pembatalan acara-acara Valentine adalah langkah reaktif pemangku kebijakan yang bisa menimbulkan efek domino di masa depan. Karena melibatkan generasi muda yang biasanya anti terhadap segala hal berbau peraturan maka sikap pemerintah ini bisa sangat tak populer di kalangan anak-anak muda.

Dampaknya, bukannya patuh terhadap larangan pemerintah, aksi ‘diam-diam’ yang kerap digagas komunitas LGBT di Yogya bisa kian menjamur di masa depan. Nantinya, perayaan hari kasih sayang malah bisa jadi perayaan underground yang mengakar dan berdaya magnet kuat sehingga semakin sulit dihilangkan.

Alangkah baiknya jika pemerintah-pemerintah daerah dibantu komunitas-komunitas keagamaan serta tempat-tempat ibadah membuat tindakan preventif semacam ‘aksi tandingan’ seperti kajian-kajian keagamaaan. Harapannya, alih-alih merayakan Valentine, anak-anak muda justru tertarik de­ngan kegiatan yang lebih berfaedah.

Hal ini pernah dipraktikkan Republika saat menggelar rangkaian acara zikir nasional, tabligh akbar, dan muhasabah di berbagai kota pada malam Tahun Baru beberapa tahun yang lalu. Meskipun awalnya ba­nyak yang memicingkan mata, namun lama-kelamaan kegiatan tersebut malah menjadi trend setter. Saat ini, kegiatan semacam tabligh akbar di malam pergantian tahun pun menjamur di mana-mana dan perlahan-lahan mengikis budaya berbau hura-hura.

Post navigation

Previous Post:

Kala Sang Imam Pergi

Next Post:

Fort Rotterdam

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy