Pengabdian Akademisi
Pada Selasa (10/12) yang lalu saya menyempatkan diri untuk hadir pada acara pengukuhan guru besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Prof Iswandi Syahputra. Salah satu alasan ketertarikan saya datang pada hari itu adalah pidato Iswandi berjudul ‘Hoaks dan Spiral Kebencian di Media Sosial’.
Dalam pidato Iswandi pagi itu terdapat beberapa kalimat yang cukup menarik, di antaranya adalah permintaannya kepada para intelektual dan akademisi untuk turun dari gua pertapaan akademik dan terjun beraktivitas di media sosial untuk memberikan pencerahan kepada publik.
Sudah menjadi rahasia umum jika para akademisi kerap tinggal di ‘zona nyaman’ mereka yaitu di kampus. Kebanyakan dari mereka enggan untuk ‘turun gunung’ untuk melakukan sesuatu yang berimplikasi bagi khalayak luas.
Padahal, menurut Iswandi, para akademisi adalah pihak yang bisa menyampaikan kebenaran secara logis dan metodologis. Karena dunia kampus lah yang selama ini sarat akan budaya riset, budaya membaca, budaya pikir, budaya kritis, dan budaya berani berpendapat.
Jika budaya-budaya di atas bisa tersebar ke luar kampus, tentunya persebaran hoaks bisa ditangkal. Apalagi Indonesia saat ini memiliki lebih dari 600 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh nusantara. Belum lagi jika ditambah politeknik, akademi, dan sekolah tinggi yang mencapai ribuan.
Jika lebih dari setengah saja jumlah dosen yang bekerja di masing-masing institusi tersebut mau menularkan ilmunya kepada khalayak, di antaranya dengan cara menulis di banyak media massa atau melakukan gerakan-gerakan di akar rumput, maka tentunya persoalan literasi di Indonesia tidak akan sedemikian parah seperti saat ini.
Fakta menyebutkan, dari 61 negara di dunia Indonesia menduduki peringkat ke-60 dalam hal literasi dan membaca. Hasil penelitian organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) tersebut menunjukkan Indonesia berada satu tingkat saja di atas Botswana.
Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Hal inilah yang kemudian menurut Iswandi menjadikan masyarakat Indonesia mudah terpapar hoaks dan ujaran kebencian. Apalagi menurut dia saat ini sangat jarang ditemui intelektual kampus yang aktif di media sosial untuk memberikan pandangan jernih seputar peristiwa aktual yang melilit bangsa.
Saya sendiri cukup sepakat dengan apa yang diucapkan Iswandi pada pidato pagi itu. Faktanya meskipun seluruh kampus di Indonesia memiliki visi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian pada masyarakat, ketiganya memiliki angka kredit yang berbeda. Maka dari itulah, sejumlah dosen yang saya kenal lebih memilih untuk memprioritaskan salah satu dan terpaksa meninggalkan yang lain demi mendapatkan sertifikasi dan kenaikan jabatan.
Semoga saja, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, sanggup melihat masalah ini dan mengeluarkan kebijakan yang ramah akademisi, di antaranya dengan memberikan prioritas pada visi seperti pengabdian pada masyarakat yang selama ini terpinggirkan dibandingkan dua visi yang lain.
Seperti yang diungkapkan Iswandi dalam pesan Whatsapp tak terduganya di pengujung penulisan artikel ini. “Jika seorang guru besar kembali pada kehidupan nyata, dia harus kembali pada hal-hal kecil.” Semoga saja ke depan lebih banyak lagi akademisi yang mau mengabdi kepada masyarakat.