Pelajaran dari Benteng Rotterdam
Namanya Kamarudin. Ia adalah seorang staf bagian publikasi di Fort Rotterdam, sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar, Sulawesi Selatan. Saya bertemu dengannya saat berkesempatan mengunjungi objek wisata tersebut bersama sejumlah wartawan dari Kepatihan Yogyakarta tengah pekan ini.
Komarudin menemukan saya yang saat itu sedang melihat-lihat berbagai barang peninggalan bersejarah di Museum La Galigo, sebuah museum yang terletak di bagian dalam benteng tersebut. Tanpa berbasa-basi, cerita tentang perjuangan rakyat Makassar melawan penjajah Belanda kala itu langsung meluncur dari mulut pria paruh baya itu.
Ia begitu bersemangat bercerita tentang beratnya perjuangan masyarakat pribumi menghadapi bala tentara Belanda yang didukung senjata yang lebih canggih. Bagaimana rakyat setempat yang dipimpin Raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin yang memperoleh julukan ‘Ayam Jantan dari Timur’ berjuang mati-matian meskipun pada akhirnya harus bertekuk lutut.
Kekalahan Indonesia ditandai dengan runtuhnya Benteng Somba Opu, benteng induk Kerajaan Gowa yang telah berdiri kurang lebih selama satu abad, pada Malam 12 Juni 1669. Peperangan terakhir yang meruntuhkan benteng tersebut diawali dari kesepakatan yang tercipta melalui Perjanjian Bongaya yang dianggap sangat merugikan rakyat Indonesia.
Fort Rotterdam juga merupakan salah satu benteng yang dikuasai Belanda setelah menaklukkan Kerajaan Gowa. Nama Rotterdam (sebuah kota di Belanda) dipilih karena untuk menghormati seorang gubernur jenderal Belanda, Laksamana Cornelis Speelman, yang menginginkan tempat tersebut dibangun ulang mirip dengan kampung halamannya di Belanda.
Pada akhir perbincangan saya dengan Komarudin, ia mengungkapkan kegelisahannya melihat keadaan negara saat ini yang terlihat rawan dipecah-belah. “Kita ini sebenarnya sudah berdosa,” katanya lirih.
Lelaki yang terlihat sangat menguasai sejarah ini melihat masyarakat Indonesia sekarang seperti sudah lupa bagaimana beratnya perjuangan para pendiri bangsa (founding fathers) di masa silam untuk mempertahankan kedaulatan bangsa ini, dari Sabang sampai Merauke.
Perjuangan Cut Nyak Dien, Sultan Agung, Pattimura, Hasanuddin, dan para pahlawan lainnya yang berujung pada kemerdekaan Indonesia seolah tak lagi diingat masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga perkataan nyinyir, kebencian, dan hoaks seolah menjamur di media-media sosial.
Padahal jika mau belajar dari pengalaman masa lalu, maka sikap-sikap seperti inilah yang membuat negara ini terpecah-belah sehingga mudah diadu domba oleh kekuatan asing. Jika keadaan seperti ini kita biarkan, maka bukan tidak mungkin disintegrasi bangsa akan terjadi.
Kebetulan, 1 Maret lalu diperingati ‘Serangan Umum 1 Maret’ yang terjadi tepat 70 tahun silam. Pada hari tersebut, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, diadakan sebuah rangkaian pameran ‘Dari Jogja RI Berdaulat’ yang bertujuan untuk mengenang jasa para pahlawan yang berjuang pada hari bersejarah itu.
Rasanya tidak ada salahnya jika kita meluangkan waktu sejenak untuk mengunjungi museum, benteng, maupun peninggalan-peninggalan bersejarah lainnya. Hanya untuk mengingat dan mempelajari kembali bagaimana perjuangan para pahlawan dahulu yang berjuang sampai tetes darah terakhir demi Indonesia. Sehingga diharapkan kita bisa merenungkan kembali apa dan bagaimana sikap yang seharusnya untuk merawat dan menjaga keutuhan bangsa ini.