Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
10/27/2019 / Journalism

Paramasan, Wilayah Terisolir di Timur Laut Banjarmasin

Terpencil dan terisolir. Suasana seperti itulah yang dirasakan saat mengunjungi Paramasan, sebuah kecamatan di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Wilayah pemekaran berusia dua tahun tersebut terletak di balik Pegunungan Meritus dan di sebelah timur laut Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan.

Saya mengunjungi wilayah Paramasan, Rabu (29/10/2008), dalam rangka pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bersama rombongan Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), serta PT Pos Indonesia dan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat. Di sana, kami melihat kondisi wilayah yang buruk dan kondisi masyarakat yang memprihatinkan.

Pertama adalah sarana transportasi yang buruk. Tidak ada satu pun penerangan jalan yang terlihat di satu-satunya akses jalan raya menuju Paramasan, yaitu sepanjang Jalan Trans Kandangan-Batu Licin. Padahal di samping kanan-kiri jalan beraspal tersebut jarang dijumpai rumah penduduk. Hal tersebut membuat sopir kendaraan selalu membunyikan klakson setiap kali berbelok di tikungan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari tabrakan dengan kendaraan yang berlawanan arah.

Selain itu, kondisi jalan menuju Desa Remo, salah satu desa di Paramasan, rusak berat. Jalan tersebut belum diaspal dan permukaannya terjal. Beberapa kali rombongan kami terpaksa berhenti gara-gara kesulitan saat melewati jembatan yang hampir ambrol atau salah satu mobil terperosok dalam lubang. Sempitnya jalan tersebut juga menyebabkan beberapa kali motor yang berlawanan arah terpaksa berhenti untuk memberi kesempatan mobil kami lewat.

Yang kedua adalah kondisi masyarakat yang memprihatinkan. Masih banyak rumah warga yang berlapiskan kayu dan beratap jerami. Mayoritas mata pencaharian warga adalah petani dengan pendapatan perkapita Rp 200 ribu per bulan. Aliran listrik belum masuk ke kecamatan tersebut, sehingga sumber energi mengandalkan dari solar sel -sumbangan dari pemerintah pusat. Sementara jaringan telekomunikasi dan persediaan air bersih juga tidak tersedia.

Camat Paramasan, Mada Teruna, mengatakan warga sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu. Akan tetapi keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan berkelanjutan. ” Dengan kondisi seperti ini, apa yang terjadi di tempat ini tidak diketahui dunia luar,” keluhnya. Satu contoh, saat acara pembagian BLT tersebut, ia terpaksa memberi tahu warga tiga hari sebelumnya. Hal tersebut dilakukan karena tidak adanya alat telekomunikasi di wilayah tersebut.

Saat pembagian BLT hari itu, beberapa warga terpaksa datang diwakilkan oleh Ketua RT-nya. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena medan yang berat. Misalnya jalan yang menghubungkan antara Desa Paramasan Atas dengan Dusun Bancing, tempat BLT dibagikan. Dengan sepeda motor saja, perjalanan yang harus ditempuh adalah tiga jam perjalanan. Mada pun memaklumi hal tersebut. “Masih lumayan jika pakai motor, beberapa warga yang tidak punya kendaraan terpaksa berjalan kaki untuk mengambil BLT,” katanya.

Galir, seorang warga Paramasan Atas, memilih untuk mengambil BLT dari rumahnya ke Dusun Bancing dengan berjalan kaki. Ia berangkat dari rumahnya pukul delapan pagi dan baru sampai pukul enam petang. Ia mengaku lebih baik berjalan kaki daripada menyewa tukang ojek, yang tarif pulang perginya sebesar Rp 200 ribu, sedangkan uang BLT yang didapatkan hari itu Rp 400 ribu.

Ia mengharapkan pemerintah segera turun tangan untuk membangun infrastruktur jalan penghubung Kecamatan Paramasan dengan Kantor Pemerintah Kabupaten Banjar. “Jalan di sini rusak, apalagi kalau musim hujan jalan jadi licin, sehingga tidak bisa dilewati kendaraan,” katanya. Selain itu ia mengharapkan agar pemerintah menyediakan sarana dan prasarana listrik serta penyediaan air bersih.

Sebenarnya, terdapat jalan penghubung Kecamatan Paramasan dengan Kantor Pemerintah Kabupaten Banjar yang lebih dekat. Akan tetapi karena jalan penghubung tersebut tidak bisa dilalui kendaraan roda empat, akhirnya perjalanan ke Paramasan terpaksa harus melalui dua kabupaten, yakni Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang total jauhnya mencapai 200 kilometer.

Harga bahan kebutuhan pokok di Kecamatan Paramasan juga relatif tinggi. Contoh kecil, mie instan yang biasa dijual di pasaran seharga Rp 1.000, maka di Paramasan, harganya dua kali lipat, yaitu Rp 2.000. Oleh karena itu warga memilih untuk membeli bahan kebutuhan pokok yang letaknya berpuluh-puluh kilometer jauhnya, ketimbang harus membeli di kampung sendiri.

Kondisi masyarakat di Paramasan adalah satu contoh kecil ironi di Provinsi Kalimantan Selatan. Meskipun provinsi tersebut kaya akan energi yaitu batu bara, akan tetapi banyak daerah-daerah yang tidak teraliri listrik, bahkan penerangan jalan juga sangat minim. Bahkan di ibu kota Banjarmasin dan sekitarnya masih sering terjadi pemadaman listrik bergilir.

Selain itu, hal ironis lainnya adalah kemiskinan yang mendera di wilayah seperti Paramasan. Padahal sesuai data Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Selatan, jumlah penduduk miskin di wilayah ini adalah 289.900 jiwa, atau 6,48 persen dari total penduduk di Kalimantan Selatan. Masih sesuai data tersebut, jumlah tersebut adalah terendah ketiga dari semua provinsi di Indonesia. Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan.

Post navigation

Previous Post:

Tears for the Brave Heart

Next Post:

Jalan-Jalan di South Borneo

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy