Musibah
Gempa di Sumatera kembali mengingatkanku pada peristiwa serupa Mei 2006 silam. Peristiwa yang menimbulkan luka, trauma, serta kepedihan yang dalam bagi semua orang di kampung halamanku.
Gempa tahun itu barangkali adalah musibah terbesar dalam kehidupan kota kami. Akibat peristiwa tersebut banyak orang yang kehilangan harta dan tempat tinggal. Bahkan ratusan di antaranya meninggal akibat tertimpa puing-puing bangunan rumahnya sendiri.
***
Aku sama sekali tak menyangka goncangan beberapa detik di pagi hari itu bisa membuat Jogja dilanda kepanikan luar biasa.Karena hanya beberapa jam setelah gempa tersebut, aku masih sempat memboncengkan adik perempuanku ke sekolahnya di SMP 8
Aku pun masih saja tidak menyadari keseriusan goncangan yang berlangsung sekian detik tersebut. Meskipun di perjalanan pulang aku melihat beberapa orang terluka diangkut dengan menggunakan mobil pick up. Meskipun saat melalui Rumah Sakit Sardjito aku melihat puluhan orang berada di pinggir-pinggir jalan.
Aku baru menyadari hal itu saat telepon di rumahku berdering sesaat setelah aku sampai. Dan di ujung sana terdengar isakan tangis adikku. “Mas, jemput mas, ada yang teriak air..air,” lirihnya sambil terisak.
Aku pun segera meloncat ke sepeda motorku tanpa berpikir lagi. “Apakah aku sempat menyuruhnya untuk tidak panik? Apakah kata-kataku terakhir tadi cukup menenangkannya?”. Aku berharap sudah sampai dan memeluknya, saat menyadari bahwa suaraku saat menyuruhnya menunggu tadi jauh dari kesan tenang.
Sayangnya pagi itu ribuan kendaraan sedang mengarah ke utara, ke arah tempat tinggalku yang terletak di perbatasan Sleman-Yogyakarta. Sehingga jalan kecil depan rumah yang biasanya sepi itu mendadak berubah seperti pasar kaget.
“Naik ke atas mas, ke Kaliurang. Parangtritis kena Tsunami,” ujar seorang ibu-ibu berusia 40-an yang tengah mengendarai mobilnya beserta barang-barang perabotan yang disumpalkan di bagasinya. Rupanya ia heran melihatku sendirian melawan arus ke selatan.
“Ya, aku tahu bu, tolong jangan ulang kata-kata itu bu. Aku belum menyelamatkan adikku,” pintaku dalam hati sambil melengos pergi
500 meter dari rumahku,Jalan Monjali, sudah penuh berbagai macam kendaraan yang hendak mengarah ke utara. Begitu juga dengan Jalan Kaliurang dan Jalan Gejayan. Jalur untuk ke selatan pun dipakai kendaraan untuk ke arah utara. Tidak ada tempat bagiku untuk lewat.
Maka dengan cepat kuputuskan untuk melawan arus melewati trotoar Jalan Gejayan sebelah kanan. Meski banyak pejalan kaki memaki-maki. Aku tak peduli.
Biasanya perjalanan dari rumah ke SMP 8 di Jalan Cik Ditiro hanya memakan waktu sekitar seperempat jam. Akan tetapi dengan jalan yang penuh dan hiruk-pikuk seperti itu aku pasti membutuhkan waktu lebih dari satu jam.
Seperti tengah menjadi seorang Tom Cruise di film “War of The World”, aku dimaki dan terus dimaki oleh orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku pun sampai tak ingat berapa kali aku balas memaki orang-orang itu. Sayangnya itu bukan akting.
Sampai sekitar satu kilo dari tujuanku, tiba-tiba jalan menjadi sunyi. Beberapa genangan air terlihat di beberapa ruang di jalan raya itu. Aku pun menyiapkan diri jika gelombang tsunami tiba-tiba menyapuku saat itu juga. Aku sudah siap lahir dan batin…
‘Yang aku ingat aku selalu sholat lima waktu. Dan aku masih mengaji, meskipun belakangan agak jarang (betapa menyesalnya aku saat itu). Aku juga tidak pernah berbuat maksiat.. Bismilllah…Bismillah..Ya Allah..Ya Rabbi…terusku mengulang kata-kata itu. Aku benar-benar pasrah.’
Dan sampai Jalan Solo, Galeria Mall, sampai Cik Ditiro…tidak ada yang terjadi. Alhamdulillah..teriakku dalam hati sambil terus memacu Shogunku.
Dan kemudian aku lihat si jilbab putih itu, si cengeng itu, meringis di kejauhan. Alhamdulillah….Ya Allah, Segala Puji Bagi-Mu. Kau selamatkan nyawa adik tersayangku.
****
Siang itu, isu tentang Tsunami di Parangtritis ketahuan bohongnya. Dan orang-orang yang terlanjur sampai Kaliurang kembali ke rumah masing-masing.
Dan kisah tegangku itu kuceritakan kepada semua orang yang kutemui di kampusku sore harinya, saat kami menggalang dana untuk korban yang berjatuhan di wilayah Bantul dan sekitarnya. Meskipun aku yakin mereka tidak akan lama mengingat kisah heroik itu. Karena mungkin tiap orang memiliki pengalamannya sendiri. Yang mungkin lebih menegangkan, atau lebih menyakitkan.
Puluhan teman-temanku terpaksa kehilangan tempat tinggalnya akibat tidak layak tinggal lagi. Tidak sedikit di antara mereka yang juga kehilangan sanak saudara. Aku berani memastikan, tidak ada seorang pun di antara mereka, yang tidak mengingat tragedi Sabtu pagi di Jogja.
Aku hanya ingin bilang, bagi semua korban gempa di Sumatra Barat, Jambi, dan Tasikmalaya, bahwa mereka tidak sendiri.