Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
11/16/2017 / Life

Lulus dari Jakarta?

Akhir pekan lalu, saat menghadiri pernikahan seorang sahabat lama di bilangan Kotagede, Yogyakarta, saya berkesempatan untuk reuni dengan teman-teman di Bulaksumur Pos, organisasi media saat kuliah. Alhamdulillah, senang rasanya mengetahui mereka sehat-sehat saja dan banyak yang sudah beranak-pinak :).

Namun hal yang paling terekam dalam ingatan saya adalah ucapan seorang rekan bernama mas Fathurrokhman (akrab dipanggil mas Fatur). Saat itu, kami berdua sedang berbincang dengan seorang teman lainnya, mas Aan.

Saat itu, mas Aan -yang kini bekerja di salah satu lembaga hukum negara ini- berceletuk bahwa Yogyakarta masih menjadi tempat terbaik untuk tinggal, terutama jika dibandingkan dengan Jakarta, tempat ia mencari nafkah. Saya pun mengangguk-angguk setuju.

Mendengar ucapan mas Aan, mas Fatur langsung merespons cepat. “Wah, nek Fernan wis lulus seka Jakarta (Wah kalau Fernan sudah lulus dari Jakarta),” kata senior yang masih menjomblo itu (bener to mas? ;))

Saya hanya tersenyum mendengar ucapan itu. Namun, ucapan mas Fatur memang ada benarnya. Setelah kurang lebih delapan setengah tahun ‘merantau’ ke ibu kota, saya memang merasa sudah saatnya kembali ke kampung halaman saya, Yogyakarta.

Maka, saat Republika, tepatnya Agustus 2016 lalu, menugaskan saya untuk mengisi posisi redaktur di kantor perwakilan Yogyakarta, saya pun langsung menerimanya. Pilihan mudah sejujurnya, meskipun saya harus meninggalkan rumah di Bogor yang telah saya beli empat tahun sebelumnya, kemudian istri harus mengorbankan pekerjaan sebagai guru yang baru ia dapatkan beberapa bulan sebelumnya karena harus mengikuti saya pindah (so sorry dear)

Maka voila, di sinilah saya sekarang. Yogyakarta memang jauh berubah ketimbang saat saya meninggalkannya pada akhir 2007 silam, terutama dalam hal jumlah kendaraan bermotor dan hotel yang kian menjamur. Namun secara keseluruhan saya merasa kota inilah yang fit dengan denyut-nadi saya.

Menurut saya, Jakarta adalah kota yang terlalu tergesa-gesa. Tidak ada hari tanpa perasaan ingin mengejar sesuatu. Mungkin itu akibat kemacetan yang merajalela, atau karena kerasnya iklim bekerja di ibu kota. Entahlah..

Namun terkadang, selama setahun lebih berada di Kota Gudeg ini, saya merasa membawa kultur Jakarta ke kota saya, yang terkadang membikin saya terkadang merasa bersalah. Yang paling kentara adalah kebiasaan mengklakson.

Saat terjebak kemacetan, yang mana adalah hal yang jarang ditemui di sini, saya sering tidak sabaran. Terkadang secara refleks saya mengklakson kala mobil di depan saya terlihat lambat merespons lampu hijau. Padahal, para pengendara yang lain terlihat sabar-sabar saja mengantre. Di situlah saya merasa bersalah 🙁

Meskipun demikian, saya menegaskan bahwa saya sekarang bahagia bisa kembali hidup di Jogja. Hanya terkadang saja, saya merasa kesepian karena ternyata banyak teman-teman saya yang seangkatan sekolah yang sudah melanglang buana, baik ke Jakarta maupun kota-kota lainnya di dunia.

“Terus bagaimana dengan pekerjaan dan jaringan-jaringanmu yang telah kamu bangun di sini nan (Jakarta)?” ujar salah seorang rekan wartawan media cetak di ibu kota saat baru mengetahui bahwa saya ternyata sudah tinggal di Jogja. Saya hanya menjawabnya dengan emoticon senyum kala itu.

Saya setuju, pekerjaan dan membangun jaringan memang terasa lebih dinamis dilakukan di Jakarta, at least ketimbang di Jogja. Namun menurut saya, hal itu bisa dilakukan nanti. Jadi saya tak akan pusing memikirkannya sekarang. Saat ini adalah waktu saya untuk menikmati hidup 🙂

Post navigation

Previous Post:

Waktunya ‘Asterix’ Berpesta

Next Post:

Harapan di Tahun yang Baru

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy