Kontroversi Bentor
Hari-hari terakhir ini pemberitaan mengenai kontroversi becak motor (bentor) cukup sering menghiasi media-media lokal di Yogyakarta. Penyebabnya, ratusan pengemudi kendaraan yang merupakan modifikasi dari becak tersebut Selasa (26/11) lalu berbondong-bondong mendatangi kantor DPRD DIY untuk menuntut mengenai kejelasan nasib mereka.
Wajar saja, sejak keberadaannya selama bertahun-tahun di Kota Gudeg ini belum ada pengakuan dari pemerintah daerah setempat. Alasannya, alat transportasi tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Muncul di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak sembilan tahun yang lalu, atau pada medio 2010, sebenarnya bentor bukan asli daerah ini. Bentor awalnya muncul di Medan, Sumatera Utara, pada tahun 1960-an. Hanya saja berbeda dengan yang berada di Yogyakarta, tempat duduk penumpang bentor di Medan tidak terletak di depan, melainkan di sebelah kiri pengemudi.
Versi lain, seperti dilansir Wikibooks.com, bentor disebut merupakan kendaraan masyarakat Provinsi Gorontalo. Bentor juga bukan merupakan singkatan dari becak motor, melainkan bendi motor. Namun bentor milik Gorontalo lebih mirip dengan bentor di Yogyakarta dimana tempat duduk penumpang terletak di depan kemudi.
Sama dengan di Yogyakarta, bentor di Gorontalo awalnya juga tak memiliki izin pemerintah setempat. Hanya saja, karena statusnya kemudian diakui Pemprov Gorontalo sebagai angkutan khas daerah tersebut bentor pun perlahan-lahan diakui, bahkan dianggap kearifan lokal.
Hal itu kian ditegaskan saat Presiden Jokowi bersama ibu negara Iriana Jokowi menaiki bentor saat berkunjung ke provinsi tersebut awal tahun ini. Kini, jumlah bentor di Gorontalo pun diprediksi mencapai 20 ribu buah lebih dan telah menjadi mata pencaharian ribuan orang di provinsi yang terletak di utara Pulau Sulawesi tersebut.
Apakah kasus bentor di Gorontalo bisa menjadi preseden bagi kasus yang sama di Yogyakarta? Semoga saja tidak. Penulis memiliki sejumlah argumen untuk mendukung penolakan terhadap bentor di Yogyakarta.
Pertama, keberadaan bentor diyakini akan mematikan secara perlahan salah satu moda transportasi tradisional di kota ini, yakni becak kayuh. Jika becak kayuh punah, tentu hal itu merugikan DIY yang saat ini tengah mengukir imej sebagai kota pariwisata. Apalagi jika digantikan bentor yang notabene tidak memiliki akar sejarah dengan kota ini.
Kedua, faktor keamanan. Keberadaan penumpang di depan pengemudi tentunya membuat risiko cedera jika terjadi kecelakaan menjadi cukup besar. Apalagi tidak jarang ditemui pengemudi bentor yang kedapatan mengendarai kendaraannya dengan kecepatan cukup tinggi. Padahal, bentor memiliki badan lebar sehingga kemungkinan untuk menyenggol kendaraan lain cukup besar.
Ketiga, jika bentor disahkan maka hal itu sama saja menghilangkan salah satu filosofi yang telah lama dianut kota ini, yakni ‘alon-alon waton kelakon’ (pelan-pelan yang penting terlaksana-red). Tak bisa dipungkiri kemajuan teknologi yang begitu dahsyat telah membuat kota ini terasa ‘berdetak’ kian cepat dan ‘berjalan’ kian tergesa-gesa. Menurut penulis, biarlah porsi ‘yang cepat’ dan ‘yang tergesa’ tersebut diambil oleh berbagai alat transportasi daring. Namun, janganlah sampai ‘merasuki’ moda transportasi tradisional seperti becak.
Semoga saja, pemerintah daerah segera mengambil sikap terkait bentor ini. Tentunya, keputusan nantinya harus diambil berdasarkan sikap arif dan bijaksana.