Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
02/05/2019 / Journalism

Jalan-Jalan di South Borneo

Banjarmasin identik dengan Sungai Barito-nya. Martapura terkenal akan batu-batu mulianya yang berkilauan. Sementara, ada pemandangan alami nan elok saat berkeliling ke Rantau, Kandangan, dan Paramasan. Semuanya dijumpai jika anda berkunjung ke Kalimantan Selatan.

Saya berkesempatan menikmati suasana itu pada akhir Oktober 2008 lalu. Waktu yang terbatas membuat saya hanya sempat menjelajah ke beberapa wilayah. Akan tetapi, berkeliling ke sedikitnya enam kecamatan, tiga kabupaten, dan satu kota di Borneo Selatan sudah cukup bagi saya untuk sementara terbebas dari hiruk-pikuknya kota metropolitan Jakarta.

Petualangan dimulai saat rombongan kami mendarat di Bandara Syamsudin Noor petang itu. Tiga buah bus langsung menjemput begitu pesawat berhenti di runway bandara. Hawa dingin langsung menyerang begitu kami keluar dari pintu pesawat. Konon, udara di Kalimantan memang sedikit berbeda daripada di Jawa. Di Kalimantan, udara di siang hari sangat panas, tetapi akan berubah drastis menjelang malam hari.

Keluar dari bandara, saya baru menyadari jika ternyata Bandara Syamsudin Noor secara geografis tidak terletak di Kota Banjarmasin, namun di kota sebelahnya, yakni Kotamadya Banjar Baru. Jika di Jawa, mungkin sama kasusnya seperti di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang sebenarnya berada di Wilayah Tangerang, atau Bandara Juanda Surabaya yang masuk ke wilayah Sidoarjo.

Tujuan kami yang pertama adalah sebuah tempat bernama Kandangan. Kecamatan ini adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan terletak sebelah timur laut Kota Banjarmasin. Kami ke sana dalam rangka menuju tempat penginapan yang telah dipesan sebelumnya.

Perjalanan ke Kandangan dari Bandara Syamsudin Noor dengan mobil memakan waktu kurang lebih tiga jam. Maklum, jarak yang kami tempuh adalah sekitar 80 kilometer. Selain itu, jalan yang kami lalui ternyata adalah satu-satunya akses jalan dari Banjar Baru menuju Kandangan, yakni Jalan Ahmad Yani. Jalan protokol tersebut lebarnya sempit, terutama jika dibandingkan jalan-jalan protokol di jakarta, sehingga sukar dilalui mobil yang berlawanan arah. Ditambah lagi, banyak truk pengangkut batubara melewati jalan tersebut.

Satu yang perlu dicatat, Kalimantan Selatan adalah wilayah penghasil bahan bakar batubara. Seorang pemandu wisata kami mengatakan, hampir 100 persen tanah di Kalimantan Selatan mengandung unsur batubara. Sehingga dalam perjalanan, kami selalu melihat stockpile-stockpile (tempat penampungan batubara) di sepanjang pinggir Jalan Ahmad Yani. Batubara tersebut diangkut truk-truk tersebut ke Pelabuhan Banjarmasin untuk diteruskan ke sejumlah tempat pembangkit listrik seperti PLTU Suralaya Jawa Barat dan PLTU Labuan Banten.

Keunikan lain Kalimantan Selatan terletak pada struktur bangunan rumah tinggalnya. Selain corak asli yang sangat kentara pada atap di bagian sudutnya yang berbentuk tanda silang, perbedaan dengan rumah di Jawa adalah pada fondasinya. Jika mayoritas rumah di Jawa fondasinya terbuat dari beton, maka mayoritas rumah tinggal di Kalimantan berpondasikan Kayu Ulin.

“Karena tanahnya masih dekat dengan air sungai, supaya kokoh maka pakai kayu ulin,” kata seorang sahabat yang merupakan penduduk asli Banjar.

Sesampainya kami di Kecamatan Kandangan malam itu, kami menyempatkan diri berjalan-jalan di Pasar Kandangan. Pasar ini sangat terkenal akan buah duriannya. Pasar ini juga menjadi tempat tujuan daerah-daerah terpencil di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Banjar yang terletak di sebelah tenggaranya. Maklum saja, pasar ini adalah pasar terdekat yang bisa dituju dari daerah-daerah terpencil Kabupaten Banjar, seperti Desa Paramasan Atas, Desa Paramasan Bawah, dan Desa Remo. Satu-satunya akses dari desa-desa itu ke Kandangan adalah Jalan Trans Kandangan Batu Licin. Sementara jalan alternatif tidak bisa dilalui kendaraan.

Kandangan juga dikenal akan salah satu makanannya yang istimewa, yaitu Ketupat Kandangan. Kami mencobanya pada saat sarapan pagi pada hari kedua di Borneo Selatan. Makanan ini sebenarnya bisa dijumpai di bagian lain provinsi ini, akan tetapi penduduk yang dijumpai di situ mengklaim hanya orang asli Kandangan saja yang bisa memasak makanan ini. Bentuk Ketupat Kandangan sendiri biasa, yang berbeda adalah cara memakannya yang tidak menggunakan sendok serta ikan patin asap sebagai lauknya. Rasanya juga hmm..gurih dan harum.

Wilayah Kandangan, Paramasan, dan Rantau yang secara geografis berdekatan juga menyajikan pemandangan yang alami. Secara keseluruhan kondisi fisik wilayah terpencil tersebut jauh dari kesan modernitas. Justru sebaliknya, masih banyaknya pemandangan alam berupa gunung, hutan, dan sungai membuat wilayah yang dibelah oleh Pegunungan Meratus tersebut tereksan sangat natural.

Pada hari ketiga perjalanan di Kalimantan Selatan, kami telah berpindah tempat penginapan di Kota Banjarmasin. Tujuannya adalah supaya lebih dekat dengan pusat-pusat perbelanjaan dan pusat-pusat makanan enak di Kalimantan Selatan. Setelah sebelumnya telah mencicipi Ketupat Kandangan dengan Nasi Banjarnya, kami kemudian mencoba masakan Itik bakar di sebuah rumah makan bernama Madesu. Sama dengan Ketupat Kandangan, nasi yang dipakai adalah Beras Banjar yang kecil-kecil. Kami juga merasakan kenikmatan saat mencicipi bebek bakar dengan campuran dengan ayam bakar itu.

Kami kemudian mengunjungi Martapura, sebuah kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Banjar. Kami mengunjungi pusat perbelanjaan bernama Adelia Martapura, dimana dijumpai puluhan kios yang menjual batu kalung, cincin, tasbih, dan aksesoris seperti dompet, kaos, hingga pedang mandau khas Kalimantan.Tempat ini memang terkenal sebagai pusat penjualan batu-batu mulia serta aksesoris.

Pada hari keempat, kami mengunjungi Pasar Terapung yang terletak di Sungai Barito. Sungai ini menjadi pembatas Kota Banjarmasin dengan Kabupaten Tanah Bumbu. Jika Anda ingin melihat Pasar Terapung, Anda harus berangkat pagi-pagi sekali karena mayoritas penjual bahan-bahan pokok yang menggunakan sampan atau kapal boat tersebut sudah standby di sungai tersebut sejak shubuh, serta bubar sekitar pukul enam pagi.

Kami pun sempat sarapan di perahu boat yang kami tumpangi. Model-model makanan yang dijual di perahu penjual yang menggunakan sampan mengingatkan saya akan warung angkringan di Jogja. Nasi, gorengan, teh manis, serta kopi adalah menu yang kami cicipi pada pagi mendung tersebut.

Di tengah Sungai Barito juga terdapat sebuah pulau bernama Pulau Kembang. Pulau berbentuk bundar itu merupakan tempat tinggal kawanan monyet-monyet agresif. Benar saja, saat kami menjejakkan kaki di pulau tersebut, kami langsung dihampiri puluhan monyet liar . Untungnya, pemandu wisata telah mengingatkan kami untuk membeli kacang bungkus sebelum masuk ke sarang monyet-monyet tersebut. Sehingga saat masuk kacang-kacang itulah yang menjadi sasaran amukan moyet-monyet ganas itu.

Sebelum kembali ke Jakarta, kami juga sempat mencicipi makanan paling terkenal di Banjarmasin, yakni Soto Banjar. Kami makan soto tersebut di rumah makan yang cukup terkenal pula, yakni Soto Bawah Jembatan. Kami juga sempat mencicipi Kepiting Goreng Mentega yang jumlahnya “berserakan” di sepanjang Jalan Ahmad Yani.

Kalimantan Selatan ternyata tidak hanya terkenal karena keindahan pemandangan alamnya, akan tetapi juga karena banyaknya jenis makanan enak. Nyuammm..jadi ingin kembali lagi, suatu saat nanti 🙂

Post navigation

Previous Post:

Paramasan, Wilayah Terisolir di Timur Laut Banjarmasin

Next Post:

The Best Goal in My Life

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy