Hoaks di Sekitar Kita
Berita palsu atau hoaks kembali menjadi buah bibir di Indonesia belakangan ini setelah ditangkapnya sebanyak enam orang administrator grup The Family Muslim Cyber Army (MCA) di sejumlah tempat beberapa waktu lalu. Polisi menangkap keenamnya setelah mereka terbukti menyebarkan konten-konten berita palsu di berbagai media sosial.
Hal ini kian menegaskan bahwa penyebaran hoaks sudah kian masif dan sanggup mempengaruhi orang-orang di sekitar kita. Saya pribadi menjadi teringat sebuah kejadian kecil usai terjadinya peristiwa gempa bumi Tasikmalaya pertengahan Desember 2017 lalu.
Saat itu, hanya beberapa saat setelah kejadian gempa bumi yang juga terasa di berbagai tempat, termasuk Yogyakarta, pada berbagai grup aplikasi pesan WhatsApp (WA) beredar foto-foto seperti sebuah bangunan masjid yang miring dan jalan raya yang retak-retak.
Awalnya, saya tak memedulikan berbagai gambar tersebut sampai kemudian salah seorang teman yang saya anggap kredibel turut menyebarkan foto-foto tersebut pada sebuah grup WA. Hanya karena basis kepercayaan terhadap rekan saya itu saya kemudian ikut menyebarkan foto-foto tersebut ke sebanyak dua grup WA dimana saya menjadi anggota.
Tak dinyana, salah satu foto ternyata bukan berasal dari gempa di Tasikmalaya, melainkan merupakan foto jalan Yogya-Wonosari yang rusak beberapa tahun lalu. Alhasil, tindakan saya mengunggah foto tersebut sempat diprotes keras oleh teman-teman saya meskipun sebenarnya saya tak secara spesifik mengaitkan foto-foto tersebut dengan gempa Tasikmalaya.
Sebagai wujud rasa bersalah, tak lama kemudian saya mengunggah foto-foto bangunan rusak yang benar diakibatkan gempa Tasikmalaya. Namun secara moral saya tetap merasa terbebani. Saya menjadi merasa bersalah karena telah menyebarkan foto-foto yang salah meskipun sebatas di aplikasi pesan WA. Terlebih, karena profesi saya sebagai wartawan yang sudah biasa melakukan verifikasi terkait pemberitaan apapun.
Selain menjadi sarana introspeksi diri agar lebih berhati-hati di masa mendatang, kejadian tersebut juga menyadarkan saya bahwa tidak ada seorang pun di dunia saat ini yang bisa benar-benar terbebas dari hoaks, mengingat saat ini berita-berita salah-kaprah semacam itu benar-benar sudah mengelilingi kehidupan kita.
Jika sudah demikian, penting rasanya menanamkan salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang pernah disebutkan Bill Kovach dalam bukunya yang ditulisnya bersama dengan Tom Rosenstiel lebih dari satu dekade yang lalu, ‘The Elements of Journalism’. Elemen ketiga menyebutkan bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi (cek dan ricek).
Bahasan tentang jurnalisme boleh saja kian usang mengingat saat ini produksi berita tak lagi dimonopoli media-media mainstream dan para wartawan. Akan tetapi, elemen-elemennya sudah selayaknya menjadi pegangan siapapun yang kini bisa menyebarkan berita di dunia maya, dan verifikasi menjadi syarat untuk mengurangi penyebaran hoaks di sekitar kita.
Sebelum menyebarkan sebuah broadcast message atau foto-foto periksa kembali keaslian pesan-pesan dan foto-foto tersebut. Jika kurang yakin, sebaiknya memang tak perlu ikut menyebarkan ketimbang kita ikut menanggung dosa akibat kemungkinan pengaruh buruk dari berita palsu tersebut kepada orang lain.
Memang naluriah jika merasa bangga saat menjadi orang yang mengetahui sesuatu lebih dahulu ketimbang orang lain. Akan tetapi agaknya jangan kemudian menjadi orang yang terburu-buru menyebarkan pesan tanpa mengeceknya terlebih dahulu. Karena bisa jadi pesan tersebut merupakan pesan yang salah (hoaks).
Sebagai wartawan, memberitakan sesuatu yang eksklusif akan selalu menjadi prioritas utama. Namun hal itu tak akan ada artinya jika ternyata yang kita beritakan ternyata tak lebih dari sebuah kebohongan.