Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
01/15/2018 / Life

Harapan di Tahun yang Baru

 

Liburan panjang telah usai. Kini, saatnya untuk memulai kembali aktivitas seperti hari-hari normal. Kebetulan juga, liburan kemarin juga diwarnai oleh pergantian tahun baru. Tahun 2017 resmi kita tinggalkan, berganti dengan tahun 2018.

Tentunya banyak harapan pada tahun yang baru ini. Di Yogyakarta, terdapat harapan agar kota ini bisa menjadi semakin menarik di mata wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan malam tahun baru di Yogyakarta berlangsung sangat meriah.

Presiden Jokowi pun menghabiskan malam tahun barunya di kota gudeg. Ini menjadi indikator betapa kuatnya magnet kota ini di mata banyak orang.

Namun, malam tahun baru juga dilewati sebagian orang dengan menggelar muhasabah. Republika, yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-25, memilih mengajak masyarakat Yogyakarta mengikuti Tabligh Akbar di Masjid Syuhada, Ahad (31/12) lalu.

Bahkan, cara melewati malam tahun baru dengan cara berzikir sudah mulai menjadi tren di kota istimewa ini. Tercatat ada beberapa masjid yang menggelar acara serupa.

Pada intinya, acara tersebut menjadi ajang mengevaluasi diri untuk belajar dari kesalahan pada tahun lalu, agar menjadi lebih baik di tahun 2018 ini. Khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), provinsi ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Salah satu yang paling kentara adalah tingginya tingkat kesenjangan pendapatan di DIY. Bahkan, gini ratio di wilayah ini berada di atas angka nasional.

Berdasar data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) angka gini ratio DIY mencapai 0,440, sedangkan nasional 0,391. Tingkat gini ratio di DIY meningkat dari 0,432 periode Maret 2017 naik menjadi 0,440 pada September 2017.

Jika dibiarkan saja, maka kesenjangan ini berpotensi merembet menjadi konflik sosial. Sebagai warga DIY, tentunya kita tidak ingin wilayah yang dulu berjargon ‘Berhati Nyaman’ ini berganti menjadi wilayah rawan konflik.

Kita harus belajar dari perseteruan antara angkutan konvensional dengan angkutan daring (online) di berbagai wilayah. Di DIY sejauh ini konflik seperti itu bisa diredam. Namun jika kita menyempatkan mengobrol di warung angkringan, maka sebenarnya bibit-bibit konflik masih mungkin bermunculan.

Terdapat kecemburuan sosial yang bila tak dicari solusinya bukan tak mungkin akan semakin membesar. Di era disrupsi saat ini, mengutip Prof Rhenald Kasali, pemerintah daerah juga dituntut untuk berpikir disruptif, berani mendisrupsi diri sendiri. Karena potensi masalah seringkali tak terlihat, seperti taksi daring yang tiba-tiba muncul menyingkirkan moda-moda transportasi konvensional dan tradisional.

Post navigation

Previous Post:

Lulus dari Jakarta?

Next Post:

Pelajaran dari Islandia

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy