Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
03/13/2020 / Uncategorized

Halal di Yogyakarta, Mengapa Tidak?

Akhir Januari lalu, saya menghadiri sebuah acara Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Halal Club Yogyakarta (HCY) di Gedung Bank Indonesia (BI) Yogyakarta. Tema FGD ini adalah seputar persiapan Pasar Beringharjo menuju pasar halal.

FGD yang berlangsung dari pagi hingga siang tersebut berlangsung cukup seru. Kebanyakan merasa antusias dengan prospek Pasar Beringharjo pada khususnya dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) umumnya menjadi lokasi halal.

Namun masih terdapat kekhawatiran dari segelintir peserta diskusi jika nantinya pasar tersebut benar-benar dijadikan destinasi halal. Salah satunya dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta yang menyatakan bahwa pasar adalah tempat untuk semua orang tanpa melihat agama dan keyakinan.

Saya sendiri berpandangan sudah tidak zamannya lagi membentur-benturkan segala macam hal yang berbau agama dan keyakinan dengan apapun. Selama apa yang berasal dari ajaran agama itu baik dan relevan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka sah-sah saja menjalankannya.

Apalagi berbicara soal halal yang mana saat ini bisa dibilang tidak lagi melulu diidentikkan dengan Islam. Halal saat ini juga bisa dikaitkan dengan bisnis yang telah populer diterapkan di banyak negara, bahkan termasuk negara-negara non-Muslim.

Thailand dan Jepang misalnya, sudah bukan rahasia lagi telah menjadi dua negara non-Muslim yang serius menggarap pasar halal. Bahkan Thailand merupakan salah satu negara terbesar pengekspor produk pangan halal di dunia.

Negara lain seperti Filipina mulai melirik industri halal sebagai penopang ekonomi nasional. Sedangkan Singapura bahkan diprediksi akan menjadi destinasi wisata halal favorit pada tahun 2026 mendatang.

Sementara, di negara-negara Eropa macam Inggris, Prancis, Belanda, dan Italia, sudah banyak dijumpai restoran-restoran yang menjual masakan-masakan halal. Hal itu karena terdapat keyakinan bahwa makanan halal merupakan makanan yang bersih, higienis, dan ramah lingkungan. Sehingga, konsumennya pun tak sebatas dari kalangan Muslim.

Saya kira menjadi ironis ketika negara-negara lain yang non-Muslim menggarap pasar halal sementara Indonesia, yang penduduknya mayoritas Muslim, justru alergi terhadap hal-hal yang berbau halal. Oleh karena itu, sudah selayaknya Indonesia turut menjadi menjadi pemain utama pada bisnis ini.

Yogyakarta, sebagai salah satu kota yang menjadi destinasi wisata terfavorit di Indonesia, saya kira layak menjadi tujuan halal. Apalagi sebagai bekas wilayah Kerajaan Mataram yang Muslim, Yogya sudah memiliki berbagai peninggalan sejarah yang bisa menjadi penopang wisata halal nantinya. Sebut saja Masjid Gedhe Kauman, Masjid Syuhada, Dusun Mlangi, Kampung Jogokariyan, dan lain sebagainya.

Selain itu, berbagai penopang wisata lainnya pun mendukung. Sebut saja ratusan rumah makan yang mengklaim dirinya sebagai restoran halal, dan seluruh hotel dan pusat perbelanjaan (mal) yang sudah menyediakan tempat-tempat ibadah seperti musala atau masjid. Apalagi DIY memiliki desa-desa wisata yang nantinya bisa dikembangkan menjadi desa-desa wisata halal.

Dengan modal seperti itu, saya kira sudah pantas Yogyakarta menyandang status sebagai destinasi wisata halal. Tentunya, tanpa menghilangkan kultur budaya Jawa lokal yang selama ini sudah terlanjur melekat di benak para penghuni wilayah ini. Sudah saatnya, kita untuk berpikiran terbuka meskipun masih berada dalam koridor lokal. Think globally, act locally.

Post navigation

Previous Post:

Kabar Duka di Awal Tahun

Next Post:

Belajar dari Kasus Susur Sungai Turi

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy