Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
08/06/2017 / Life

Guangzhou, Kota Metropolitan yang Ramah

“Welcome to Guangzhou”. Bagi saya, frase tersebut bukan merupakan tagline semata. Pemerintah kota subprovinsi Guangzhou benar-benar menyambut para turis, baik domestik maupun mancanegara, dengan tingkat keseriusan tinggi. Hal tersebut saya jumpai petang itu, Kamis (18/11), begitu saya tiba di Bandara Baiyun, Guangzhou.

Sebagai salah satu jurnalis peliput Asian Games ke-16 di Guangzhou, saya diperlakukan istimewa dalam urusan keimigrasian karena memiliki akreditasi (kartu identitas) Asian Games. Terdapat jalur khusus bertuliskan “Reserved Passageway for the Asian Games”, sehingga di bagian imigrasi saya tidak harus mengantri panjang seperti turis-turis lain.

Usai merampungkan urusan imigrasi, saya langsung disambut sejumlah relawan Asian Games. Mereka adalah anak-anak muda yang membantu kelancaran multievent empat tahunan tersebut. Pasukan berseragam putih-hijau muda bertopi tersebut terlihat sangat antusias melayani pertanyaan saya, meskipun rata-rata memiliki kemampuan bahasa inggris yang terbatas.

Pertanyaan saya kepada mereka sore itu adalah bagaimana cara paling cepat untuk menuju wilayah Zhongshan Dadao, tempat dimana hotel saya berada. Para relawan tersebut kemudian menunjukkan bus-bus bandara di luar terminal yang datang tiap beberapa menit sekali. Berbekal akreditasi, saya ternyata bisa menumpang dengan gratis salah satu bus tersebut untuk perjalanan kurang lebih satu setengah jam ke Zhongshan.

“Jika naik taksi, maka anda harus mengeluarkan sekitar 100 yuan (Rp 135 ribu). Dengan bus tersebut anda akan bisa sedikit berhemat ,” ujar Liang Wei (21), salah satu relawan yang saya ajak berbincang di bandara.

Pada hari lain, saya sengaja berkeliling dengan Guangzhou Bus Rapid Transit (BRT) untuk melihat wajah Guangzhou. Arsitektur kota berpenduduk enam juta jiwa itu sangat unik. Terdapat banyak sekali jembatan-jembatan layang yang menghubungkan jalan raya satu dengan yang lain. Jembatan-jembatan tersebut melingkar-lingkar seperti ular. Saya ibarat sedang duduk dalam roller coaster dengan kecepatan 60 km/jam.

Waktu malam itu menunjukkan pukul tujuh. Seperti kota metropolitan lain, Guangzhou berhiaskan gedung-gedung tinggi serta bangunan-bangunan megah yang berkerlap-kerlip di malam hari. Meskipun demikian, tidak ada kemacetan terjadi di kota tersebut. Selain karena mayoritas warga Guangzhou memakai jasa transportasi umum, pemerintah Guangzhou sanggup membatasi penggunaan mobil selama penyelenggaraan Asian Games. Sementara sepeda motor sudah hampir empat tahun dilarang beroperasi di pusat kota.

Bus yang saya tumpangi malam itu melewati jembatan di atas Sungai Mutiara (Zhujiang River/Pearl River), sungai yang dipakai untuk pembukaan serta penutupan Asian Games 2010. Besar sungai itu mengingatkan saya pada sungai Barito yang memanjang dari Kalimantan Tengah hingga Kalimantan Selatan. Warna-warni lampu yang menghiasi sepanjang 23 kilometer di sungai tersebut membuatnya sebagai salah satu obyek wisata yang menarik.

Malam itu, saya juga menyaksikan sebuah menara yang menjulang lebih tinggi dari bangunan manapun di Guangzhou. Nama menara tersebut adalah Canton Tower. Dioperasikan hanya dua bulan sebelum penyelenggaraan Asian Games, menara TV Guangzhou tersebut adalahmenara tertinggi di dunia. Warna menara tersebut berubah-ubah dari warna biru, ungu, hijau, kuning. Indah sekali dilihatnya.

Hari lainnya, di tengah-tengah kesibukan meliput Asian Games, saya pergi ke Beijing Lu, sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di Yuexiu District. Sebagai variasi, saya sengaja tidak memakai BRT, melainkan Guangzhou Metro, kereta api bawah tanah yang mencakup 236 kilometer wilayah Guangzhou. Dengan stasiun sebanyak 123 buah, Guangzhou Metro bisa membawa ke tempat mana pun yang saya inginkan.

Stasiun Guangzhou Metro terdekat dengan hotel tempat saya menginap, Hotel Yingfeng, adalah Stasiun Chebei. Dari stasiun tersebut, saya perlu pindah dua kali kereta untuk mencapai stasiun terdekat dengan Beijing Lu, Stasiun Gongyuanqian.

Berbeda dengan BRT, alat transportasi tersebut ternyata sangat padat penumpang sehingga beberapa orang terpaksa berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Meskipun gratis karena memiliki akreditasi, namun perjalanan tersebut cukup melelahkan karena untuk pindah dari jalur satu ke jalur lainnya (interchange) saya mesti berjalan kaki dan berdesak-desakan dengan penumpang lainnya.

Beijing Lu tidak hanya berisi toko-toko yang menjual segala macam kebutuhan sandang, pangan, dan papan, namun juga terdapat sebuah museum terbuka. Yang unik adalah barang-barang miniatur museum tersebut terletak di balik permukaan kaca yang terletak di sebuah tempat berbentuk kolam.

Saking asyiknya berfoto-foto, saya sampai kaget ketika waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Khawatir kelelahan jika kembali menaiki Guangzhou Metro, saya memutuskan memanggil taksi. Saya sempat panik karena si sopir taksi, yang berjenis kelamin wanita, ternyata sama sekali tidak memahami apa yang saya ucapkan. Beruntung, saya sempat membawa kartu nama hotel, sehingga saya hanya perlu menunjukkan kartu tersebut kepada si sopir untuk mengantarkan saya pulang.

Dari wanita paruh baya tersebut saya belajar bahwa sangat sedikit orang di Cina yang bisa berbahasa Inggris. “Thank You,” Itulah satu-satunya ucapan wanita itu yang saya pahami, sesaat setelah saya memberinya uang 40 yuan di tempat tujuan.

Pada hari-hari lainnya, saya lebih berkutat untuk urusan Asian Games. Meskipun demikian, saya tetap menyempatkan diri untuk melihat tempat-tempat menarik seperti Masjid Huasheng, masjid pertama di Cina, serta Shangxiajiu, sebuah kawasan pejalan kaki yang menyediakan tempat-tempat untuk berbelanja oleh-oleh.

Guangzhou adalah kota yang sangat bersih. Tiap tengah malam, selalu ada saja mobil dinas kebersihan berkeliling menyemprotkan air di jalan-jalan protokol. Mayoritas penduduknya pun sadar kebersihan. Mereka selalu membuang sampah pada tempat sampah yang terbagi menjadi dua macam, yakni sampah organik dan sampah non organik.

Seperti kota-kota besar lain, kehidupan di kota tersebut juga berjalan sangat dinamis. Pagi hari ditandai dengan orang-orang yang berjalan dengan langkah kaki cepat menuju stasiun-stasiun transportasi umum seperti Guangzhou Metro maupun stasiun BRT. Suasana seperti itu berlangsung hingga sekitar pukul sembilan malam. Di luar jam tersebut, Guangzhou berubah menjadi kota yang sangat sunyi.

Hari itu Rabu (24/11) sore. Tak terasa, saya sudah genap sepekan berada di tanah Tiongkok. Rasa-rasanya saya mulai terbiasa dengan suhu mendekati 15 derajat celsius yang menghiasi malam hari di Guangzhou. Saya pun mulai terbiasa dengan bakpao dan kwetiau sebagai menu makanan sehari-hari saya. Dalam hati ini, saya berjanji akan kembali mengunjungi kota ramah lingkungan tersebut, suatu hari nanti.

Post navigation

Previous Post:

Oleh-Oleh dari Kwangchow

Next Post:

Mampir ke Hongkong

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy