Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
04/19/2019 / Life

Euforia Pemilu 2019

Satu hari setelah hari pemungutan suara 17 April lalu, seorang teman saya yang berkewarganegaraan Italia mengungkapkan kekagumannya terkait suasana Pemilu 2019 di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pada hari itu, ia melihat langsung banyak orang dewasa dan anak-anak keluar rumah dan memenuhi banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) di dekat tempat tinggal masing-masing.

“Suasana pemilu di negara kalian sangat ber­beda dengan suasana pemilu di Italia atau negara-negara lain di Eropa,” katanya. Menurut dia, yang sudah lebih dari dua tahun tinggal di Yogyakarta, suasana pemilihan umum di negara asalnya tidak semeriah di Indonesia.

Saya pun menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Karena sistem pemilihan langsung di Indonesia membuat setiap suara yang diberikan sangat berpengaruh bagi keterpilihan kandidat atau partai yang mengikuti kontestasi politik ini.

Keunikan sistem pemilu di Indonesia membuat setiap orang yang berusia 17 tahun ke atas atau su­dah menikah bisa berkontribusi langsung terhadap nasib bangsa ini ke depan. Hal ini berbeda dengan sistem pemilu di sejumlah negara Eropa atau di Amerika Serikat dimana pemilih masih harus diwakili semacam lembaga perwakilan rakyat.

Masyarakat Indonesia memang terlihat bersemangat mendatangi bilik-bilik suara di TPS-TPS pada hari Rabu (17/4) lalu. Sekilas, melihat antu­siasme orang-orang tersebut membuat saya cukup yakin suara golput pada pemilu kali ini tidak akan setinggi pemilu-pemilu sebelumnya.

Sayangnya, masih terdapat sejumlah masalah yang membuat tidak semua warga bisa menggu­nakan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Seperti yang ditemukan Organisasi Pemantau Pemilu yang ter­gabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, bahwa ter­dapat lebih dari 1.000 permasalahan dalam penye­lenggaraan pemilu kemarin.

Dari masalah sebanyak itu, mayoritas masalah adalah terkait administrasi seperti jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak terpasang, TPS-TPS yang terlambat buka, serta surat-surat suara yang tercoblos atau tertukar.

Bahkan, terdapat masalah yang cukup mencuat di DIY dimana sejumlah TPS kehabisan surat suara sebelum waktu pemilihan usai. Seperti yang terjadi di TPS 3 Dusun Turen, Kelurahan Sardonoharjo, Ke­camatan Ngaglik, Sleman. Di TPS itu, sejumlah warga tidak bisa menggunakan hak pilihnya akibat surat suara habis. Usut punya usut, ternyata TPS tersebut diserbu oleh para pemilik dokumen A5 yang masuk ke Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).

Sementara di TPS 37 dan 44 Dusun Mrican, De­sa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, giliran para pemilik A5 yang mengeluhkan surat suara habis akibat TPS setempat lebih mempri­oritaskan warga yang sudah masuk DPT.

Hal ini juga dialami penulis saat hendak mencoblos di TPS 42 Dusun Lempongsari, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman. Dengan bermodalkan surat keterangan dari kelurahan akibat nama tidak terdaftar di DPT, saya diminta menunggu hingga pukul 12.00 WIB karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) ingin melayani terlebih dahulu warga yang namanya sudah tercantum di DPT.

Namun, akibat surat suara di TPS tersebut ternyata sudah habis sebelum jam 12.00 saya pun diminta pindah ke TPS 34 di kampung sebelah. Beruntung, di TPS tersebut masih terdapat banyak sisa suara sehingga akhirnya saya bisa mencoblos 30 menit sebelum waktu pencoblosan berakhir atau sekitar pukul 12.30 WIB.

Beberapa kasus lain di antaranya adalah keti­dak­tahuan warga tentang syarat menggunakan hak pilih. Di beberapa TPS terdapat kesalahpahaman karena warga beranggapan hanya dengan bermodal KTP elektronik (KTP-el) saja sudah cukup untuk mencoblos. Padahal warga dengan KTP luar kota tentunya tidak bisa mencoblos. Petugas KPPS pun akhirnya terpaksa menolak mereka.

Untungnya, teman Italia saya tadi tidak mem­bahas lebih lanjut tentang masalah-masalah yang terjadi, seperti persoalan logistik, so­sialisasi pe­nyelenggara yang kurang, hingga pihak-pihak yang belum bisa menerima hasil pemilu yang sejauh ini masih dalam tahap perhitungan. Baginya, untuk ne­gara sebesar Indonesia wajar jika terdapat ma­salah-masalah kompleks dalam penyeleng­garaan pemilu.

Selama perselisihan baru terjadi di media sosial dan tak menjalar ke dunia nyata, maka pemilu kali ini menurutnya berjalan sukses. Saya pun sepakat dengannya. Setelah lebih dari 20 tahun usia reformasi, masyarakat Indonesia memang sudah belajar banyak hidup di alam demokrasi.

Post navigation

Previous Post:

Media dan Demokrasi

Next Post:

Partai Pembuka yang Memalukan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy