Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
08/06/2017 / Life

Cerita Ami dan Nasionalisme Cina

Cerita orang Cina yang tidak mahir berbahasa inggris sudah menjadi hal biasa. Tetapi jika seorang Cina lancar berbahasa Indonesia tanpa pernah sekalipun mengunjungi Indonesia, hal itu menjadi hal yang luar biasa.

Itulah yang saya jumpai pada seorang pemandu turis bernama Ami. Pria berusia 48 tahun tersebut adalah orang yang selalu mengantar kemanapun saya dan rekan-rekan wartawan lain berkeliling Guangzhou.

Pekerjaan menjadi pemandu turis adalah hal yang secara tak sengaja dilakoninya. Ia sebelumnya adelah seorang peternak ayam di kampung halamannya, Shenzhen. Tujuh tahun lalu, seseorang merekrutnya menjadi pemandu turis setelah mengetahui ia mahir berbahasa Indonesia

“Saya pernah sekolah bahasa Indonesia di Guangzhou 20 tahun lalu. Ya cuma iseng-iseng aja,” ujar Ami.

Membaiknya hubungan Indonesia-Cina beberapa tahun belakangan ini menguntungkan orang-orang seperti Ami. Dengan modal bahasa Indonesia yang terbatas, banyak yang mencarinya karena hampir tidak ada orang Cina yang memahami orang Indonesia berbicara, baik dengan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris (perkecualian untuk ras Tionghoa di Indonesia).

Berkat Ami, wartawan peliput Asian Games 2010 seperti saya menjadi sangat terbantu di Guangzhou. Para pemandu tersebut sanggup menerjemahkan, memberi petunjuk jalan dan arah, serta memberikan info-info tentang tempat-tempat yang perlu dikunjungi seperti money changer, kios operator seluler, dan obyek-obyek wisata.

“Ingat ya, kalau mau beli sesuatu tawar pakai kalkulator. Percuma bicara bahasa Inggris sama mereka, ” ujar Ami saat para rombongan kami mengunjungi pusat perbelanjaan di Shangxiajiu.

Mayoritas orang Cina memang tidak pandai (baca: tidak mau) berbahasa Inggris. Suatu kali saya pernah kecele saat saya menaiki Guangzhou Metro ( sebuah kereta api bawah tanah di Guangzhou). Seseorang laki-laki di samping saya tiba-tiba mengajak saya mengobrol dengan bahasa Cina. Saya pun langsung berujar: “Sorry I don’t speak Chinese. Do you speak english?”

Ia langsung memberikan jawaban yang sangat mengagetkan saya. “This is our country. You should speak Chinese,” katanya sambil terus berbicara dengan bahasa Cina yang tidak saya pahami.

Kesimpulan saya barangkali terlalu cepat. Namun tampaknya, orang-orang Cina lebih menyukai apa-apa yang dimiliki negaranya ketimbang memakai hal-hal yang berbau asing. Tidak hanya soal bahasa, namun juga aspek-aspek lain seperti makanan dan barang-barang elektronik. Mereka lebih memilih produk dalam negeri.

Xiao Yang, salah seorang relawan Asian Games 2010 yang saya temui mengatakan pemerintah negaranya memang sangat keras terkait dengan sikap nasionalisme. Ia sendiri mengaku terpaksa tidak kuliah selama penyelenggaraan multievent empat tahunan tersebut karena tekanan pemerintah terhadap Universitas Huagong, tempatnya belajar administrasi negara.

“Negara ini memang hanya memberikan sedikit kebebasan kepada rakyatnya. Meskipun demikian saya cinta negara saya,” kata Xiao Yang dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.

Tapi sudahlah, daripada bercerita soal mengenai nasionalisme Cina, saya lebih baik kembali bercerita soal Ami. Ia mengatakan, beberapa kali ingin berkunjung ke Indonesia. Namun kemudian niat tersebut diurungkannya.

“Ya, daripada ke Indonesia saya mendingan di sini. Toh, hidup saya di sini sudah enak,” ujarnya sambil terkekeh.

Post navigation

Previous Post:

Perahu Naga Bintang Asian Games

Next Post:

Guangzhou Pemenang Asian Games

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy