Big Bad Wolf dan Merawat Budaya Baca
Ada suasana berbeda ditemui di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hari-hari ini, terutama jika mengunjungi Jogja Expo Center di bilangan Banguntapan, Bantul. Di tempat tersebut mulai 2 Agustus lalu hingga 12 Agustus mendatang digelar bazar buku yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia, Big Bad Wolf (BBW).
Di Indonesia, bazar ini sebenarnya sudah digelar sejak 2016 silam. Namun selama tiga tahun pertamanya, event ini urung menyapa kota gudeg. Baru pada tahun keempat ini, PT Jaya Ritel Indonesia selaku penyelenggara menyasar Yogya sebagai tuan rumah ketiga setelah sebelumnya diadakan di Jakarta dan Bandung.
Tidak seperti pameran-pameran buku pada umumnya yang digelar dengan durasi waktu serta ketentuan waktu buka dan waktu tutup. BBW, sebagaimana diterapkan di kota-kota lain, dibuka untuk seluruh pengunjung selama 24 jam setiap hari alias tidak mengenal kata tutup.
Sambutan masyarakat Yogyakarta pun luar biasa, setidaknya tercermin saat hari pembukaan pada 1 Agustus lalu. Meskipun saat itu bazar BBW baru dibuka untuk segelintir kalangan yang memiliki kartu preview pass, namun terjadi antrean yang mengular sangat panjang.
Satu hal yang menarik di mata penulis adalah misi dari bazar tersebut yang tidak menekankan pada target penjualan buku. Seperti yang diungkapkan Presiden Direktur PT Jaya Ritel Indonesia, Uli Silalahi, bahwa pihaknya hanya ingin menghadirkan sebuah pesta buku kepada khalayak.
Tak heran jika fokus utama pada bazar tersebut tidak pada hal lain-lain selain buku. Bahkan pengunjung pun tidak diharuskan membeli buku, alias cukup melihat-lihat dan membaca-baca saja diperbolehkan, meskipun faktanya buku yang dipamerkan berada di kisaran 1,5 juta hingga 2 juta buku.
Terdapat sebuah misi mulia yang dipaparkan Uli, bahwa pihaknya ingin mendorong peningkatan minat baca masyarakat Indonesia. Ia mengaku prihatin melihat rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.

Berdasarkan hasil sebuah studi berjudul ‘Most Littered Nation in the World’ yang pernah dirilis Central Connecticut State University pada tahun lalu, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara.
Bahkan sebuah badan PBB, Unesco, juga pernah mengungkapkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu yang rajin membaca. Hal ini tentu menjadi keprihatinan bersama.
Oleh karena itu, ramainya pengunjung bazar BBW di Yogyakarta, meskipun belum bisa dijadikan tolak ukur tingginya minat baca, tentunya menjadi harapan bersama. Apalagi sudah lama kota ini tidak menghadirkan pameran buku yang representatif. Jika ada, biasanya kalah gaung dengan pameran barang-barang elektronik, mainan, atau kendaraan.
Semoga saja, hadirnya BBW di Yogyakarta ‘membuka mata’ penyelenggara-penyelenggara bazar buku yang lain untuk juga menyambangi kota ini. Tidak semata-mata untuk gagah-gagahan, namun juga untuk merawat budaya membaca.