Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
09/09/2018 / Journalism

Berbicara Politik di Dunia Maya

Beberapa hari yang lalu saya melakukan sebuah eksperimen di beberapa grup aplikasi pertemanan Whatsapp. Saat itu saya mengirimkan sebuah pesan, yang saya anggap lucu, dan kebetulan ada kaitannya dengan politik (baca: pemilu presiden) ke beberapa grup tersebut. Reaksi pesan tersebut cukup beragam mengingat saya mengikuti sejumlah grup yang berisi orang-orang  dari berbagai latar belakang.

Ada yang sekadar memasang emoticon tertawa melihat pesan tersebut. Ada pula yang lang­sung membahasnya dari segi konten politik. Namun ada juga yang bereaksi cukup keras seperti meminta agar tidak perlu memasang foto atau pesan-pesan berbau politik. Bahkan ada yang langsung meninggalkan grup (left group) tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.

Dari eksperimen tersebut, saya berkesimpulan bahwa masih ada sebagian dari masyarakat Indonesia yang belum siap menghadapi tahun politik 2019 mendatang. Mungkin masih terdapat trauma yang ditimbulkan akibat kontestasi pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 lalu, dimana perdebatan seputar jagoan masing-masing menciptakan polarisasi yang sangat dalam di tengah-tengah masyarakat.

Saat itu, seperti yang juga saya rasakan, hanya akibat perbedaan pilihan politik maka hubungan pertemanan juga menjadi rusak. Padahal kedua pihak barangkali sudah jarang bertemu lagi. Mereka dipersatukan dan kembali berkomunikasi secara intens di dunia maya seperti media sosial Facebook, Instagram, atau aplikasi pertemanan Whatsapp.

Tahun 2019 nanti, keretakan yang sama berpotensi terulang lagi seandainya tingkat kedewasaan berpolitik kita masih sama seperti 2014, atau seperti saat pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun lalu. Hanya akibat terbakar emosi melihat status seseorang di dunia maya, maka jari-jari tangan pun tergoda untuk mengecam status tersebut. Padahal mungkin status tersebut tidak ditulis untuk menjatuhkan siapapun melainkan hanya untuk menyenangkan diri sendiri.

Sekiranya, berbicara politik di dunia maya masih diperbolehkan selama masih dalam koridor-koridor yang berlaku. Misalnya, tidak ada aturan spesifik dalam sebuah grup Whatsapp tentang apa saja konten yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan untuk diobrolkan. Selama tidak ada payung aturannya, maka setiap orang bebas berbicara mengenai apa saja.

Jika tidak suka dan menganggapnya kurang berfaedah, cukup diam atau tinggalkan saja grup tersebut. Karena itu adalah sebuah bentuk kebebasan berpendapat yang diatur undang-undang dasar kita. Kecuali jika terdapat aturan dalam grup itu untuk tidak membicarakan politik, tentunya tidak etis untuk menyampaikan pesan-pesan politis.

Kedua, seperti yang pernah diungkapkan pengamat media sosial Nukman Luthfie, bahwa berkampanye politik di dunia maya diperbolehkan selama memperhatikan sejumlah etika, seperti tidak melakukan kampanye hitam. Yang jadi masalah seringkali orang tidak tahu bedanya kampanye hitam dengan kampanye negatif.

Jika kampanye positif disebarkan untuk membuat seorang calon terlihat memiliki kesan positif, maka kampanye negatif adalah kebalikannya dimana hal itu dilakukan agar lawan politik terlihat buruk. Selama yang dipaparkan adalah fakta-fakta maka itu tidak menjadi masalah.

Yang jadi masalah jika pesan yang disam­paikan mengandung ujaran kebencian (hate speech) dan berita palsu (hoaks). Jika kandungannya seperti itu maka itu sudah termasuk sebagai kampanye hitam (black campaign) yang bisa dijerat oleh undang-undang.

Di era media sosial seperti saat ini, sudah sangat sulit untuk membendung arus informasi yang mengalir deras dari berbagai penjuru. Sehingga, orang terkadang tanpa disadari sudah terbawa arus sedemikian jauh sehingga lupa jati dirinya sendiri dan apa hakikat keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.

Bahwasanya, perbedaan dalam pilihan politik itu adalah hal yang biasa. Kita sudah sepatutnya meniru para pendiri bangsa (founding fathers) seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, M Natsir dan lain-lain, yang tetap berteman meskipun memiliki perbedaan pendapat.

Tak perlulah sampai mengorbankan pertemanan hanya karena perbedaan pandangan politik. Tahun 2019 nanti, kedewasaan kita sebagai manusia Indonesia akan kembali diuji. Yakni kedewasaan kita sebagai manusia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Siapkah kita

Post navigation

Previous Post:

Anak Muda, Turunlah ke Sawah

Next Post:

Mengkritisi Penataan Kawasan Pedestrian Yogyakarta

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy