Belajar dari Jerman
Awal Juli 2018 lalu, saya berkesempatan mengunjungi sebuah negara di benua Eropa, Jerman. Berbeda dari perjalanan saya sebelumnya yang biasanya merupakan bagian dari tugas jurnalistik, kunjungan selama dua pekan tersebut dilakukan untuk mempelajari kehidupan masyarakat Muslim.
Saya mendapatkan kesempatan tersebut setelah mengikuti sebuah program yang diselenggarakan Goethe-Institut Indonesien, yakni ‘Life of Muslims in Germany, Study Programme 2018’. Terdapat 14 orang dari berbagai macam latar belakang yang terpilih menjadi peserta program tersebut, di antaranya dosen, peneliti, pengacara, dokter, dan jurnalis.

Perjalanan ke beberapa kota di antaranya Berlin, Goettingen, dan Hamburg tersebut menjadi sebuah pengalaman yang menarik bagi saya. Karena saya bisa merasakan langsung hidup sebagai seorang Muslim minoritas di tengah kehidupan masyarakat Eropa yang sekuler.
Dibandingkan dengan kehidupan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, menjadi Muslim di negara tersebut tantangannya jauh lebih berat. Salah satu contohnya, kita sangat sulit menemukan masjid. Meskipun sebenarnya terdapat sekitar 3.000 masjid di negara tersebut, biasanya lokasinya kurang strategis dan tempatnya tak cukup representatif.
Konon, mendirikan tempat ibadah di Jerman bukan perkara mudah. Pembangunan sebuah masjid Turki yang terletak di Koeln, Cologne Central Mosque, membutuhkan waktu hingga 10 tahun. Oleh karena itu, mayoritas masjid di negara tersebut masih berbentuk semacam pusat kebudayaan yang rata-rata seukuran mushala di Indonesia.
Tantangan kedua, seperti dijumpai di negara-negara Barat yang lain, sulit menemukan makanan halal. Selama di sana, kami harus mencari restoran Arab, Turki, atau India untuk mendapatkan makanan-makanan halal. Rasanya pun jauh lebih hambar ketimbang masakan Indonesia yang umumnya kaya rempah.
Selain itu, meskipun banyak yang mengklaim tidak ada diskriminasi soal pekerjaan, faktanya kebanyakan Muslim bekerja sebagai buruh dengan upah rendah. Bahkan terdapat data yang menyatakan sebanyak 36 persen Muslim yang lahir di Jerman sudah meninggalkan dunia pendidikan sejak usia 17 tahun.
Hal itu saya temukan pada seorang Muslim keturunan Senegal bernama Abdoul, yang sehari-hari bekerja di sebuah restoran Italia di Berlin. Ia mengaku berat menjadi Muslim di Jerman, terutama jika memasuki bulan Ramadhan. Ia bahkan terpaksa cuti dari pekerjaan selama sebulan penuh demi bisa beribadah secara khusyuk pada bulan tersebut. “Orang di sini tak paham Islam,” kata pria berusia 30 tahun itu.
Hal yang sama juga diucapkan Muhammad Ihsan Karimi, seorang mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah Teknik Mesin di TU Berlin. Pria berusia 28 tahun itu terpaksa menggelar shalat tarawih di waktu maghrib bersama Muslim Indonesia lain di Masjid Al Falah, Berlin. Hal itu disebabkan shalat jamaah yang dilakukan pada waktu isya, yang di sana hampir mendekati tengah malam, membuat masyarakat sekitar merasa terganggu. “Ada aturan yang mengatakan tidak boleh membuat keributan pada malam hari,” kata Karimi.
Pengalaman hidup di Jerman selama dua pekan tersebut membuat saya pribadi merasa bersyukur hidup sebagai seorang Muslim di negara mayoritas Islam. Hal itu juga menjadikan saya lebih bersimpati kepada para pemeluk agama minoritas di sini. Oleh karena itu, sebagai warga Yogyakarta yang terkenal karena keramah-tamahannya sudah seharusnya kita menjunjung tinggi toleransi dalam beragama.