Anak Muda, Turunlah ke Sawah
Beberapa hari lalu, saya untuk pertama kalinya melihat langsung program minapadi di Dusun Cibluk Kidul, Desa Margoluwih, Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman, DIY. Saya merasa sedikit takjub melihat teknik minapadi yang pertama kali diperkenalkan Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia tersebut.
Tidak hanya karena prosesnya yang kreatif, dimana tekniknya menggabungkan penanaman padi dengan pembudidayaan ikan. Namun juga karena hal itu memunculkan lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat.
Sugeng Paryono, seorang petani di dusun tersebut, menuturkan bahwa setelah menggunakan minapadi penghasilannya meningkat berlipat-lipat dibandingkan sebelumnya. Salah satunya disebabkan petani tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli pupuk. Karena ternyata kotoran ikan yang juga dibudidaya di lahan tersebut bisa difungsikan untuk memberi kesuburan padi.
Jika dibandingkan dari kegiatan penduduk sebelumnya, maka dengan mengikuti program minapadi tersebut tergolong sebuah lompatan besar. Sebelumnya, berhektare-hektare sawah yang ada di dusun tersebut hanya digunakan untuk bercocok tanam secara konvensional. Kini, memperoleh penghasilan hingga 10-12 juta tiap musim panen adalah hal biasa bagi para petani tersebut.
Hal inilah yang kemudian menarik minat anak-anak muda untuk menjadi penggerak sektor pertanian. Konon, penghasilan yang besar dan perputaran uang yang cepat hasil program minapadi telah menjadi magnet bagi anak-anak muda itu untuk ikut terjun. Di Margoluwih sendiri, sudah ada sebanyak 20 pemuda yang mengikuti program yang merupakan gagasan FAO bersama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut.
Langkah ke-20 anak muda tersebut sudah selayaknya ditiru anak-anak muda lainnya. Apalagi peluangnya cukup besar karena lahan yang tersedia cukup luas. Saat ini, Kabupaten Sleman telah mencanangkan 15 ribu hektare tanah pertanian berkelanjutan, dimana tanah seluas itu harus tetap berfungsi sebagai lahan pertanian. Tidak boleh beralih fungsi menjadi bangunan atau jalan.
Salah satu contoh generasi milenial yang telah menangkap peluang ini adalah Agradaya, sebuah startup agrobisnis yang berpusat di Desa Sendangrejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Perusahaan sosial ini bertujuan untuk membangun sumber daya di pedesaan bersama dengan para petani di desa kawasan Perbukitan Menoreh untuk memproduksi rempah yang ditanam di areal hutan dan pekarangan dengan standar yang berorientasi pasar.
Salah satu pendiri Agradaya, Andhika Mahardika menerangkan startup yang telah dibangun selama empat tahun tersebut bekerja sama dengan 157 mitra petani rempah yang berada di dua desa Perbukitan Menoreh. Kelebihan startup tersebut adalah menggunakan sistem natural framing sehingga tidak menggunakan bahan kimia yang merusak lingkungan. Meskipun demikian, pendapatan petani juga meningkat hingga 50 persen.
Dua contoh di atas membuktikan bahwa pendapatan dari sektor pertanian jika ditekuni ternyata tak kalah dengan penghasilan dari menjadi pegawai di kota besar. Selain itu, dengan ‘turun ke sawah’ maka kesempatan memberdayakan masyarakat setempat juga lebih besar. Artinya, anak-anak muda saat ini yang dikenal sebagai generasi kreatif dan optimistis ini berkesempatan untuk membuat dirinya berguna bagi orang-orang di sekitarnya. Utamanya bagi masyarakat pedesaan yang kebanyakan masih berada di bawah garis kemiskinan.