Skip to content

Fernan Rahadi

  • Home
  • About
08/31/2018 / Education

Anak Muda, Turunlah ke Sawah

Beberapa hari lalu, saya untuk pertama kali­nya melihat langsung program minapadi di Dusun Cibluk Kidul, Desa Margoluwih, Keca­matan Seyegan, Kabupaten Sleman, DIY. Saya mera­sa sedikit takjub melihat teknik minapadi yang pertama kali diperkenalkan Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia tersebut.

Tidak hanya karena prosesnya yang kreatif, dima­na tekniknya menggabungkan penanaman padi dengan pembudidayaan ikan. Namun juga karena hal itu memunculkan lapangan kerja baru bagi ma­syarakat setempat.

Sugeng Paryono, seorang petani di dusun terse­but, menuturkan bahwa setelah menggunakan mi­napadi penghasilannya meningkat berlipat-lipat di­bandingkan sebelumnya. Salah satunya disebabkan petani tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk mem­beli pupuk. Karena ternyata kotoran ikan yang juga dibudidaya di lahan tersebut bisa difungsikan untuk memberi kesuburan padi.

Jika dibandingkan dari kegiatan penduduk sebe­lumnya, maka dengan mengikuti program minapadi tersebut tergolong sebuah lompatan besar. Sebe­lumnya, berhektare-hektare sawah yang ada di dusun tersebut hanya digunakan untuk bercocok ta­nam secara konvensional. Kini, memperoleh peng­hasilan hingga 10-12 juta tiap musim panen adalah hal biasa bagi para petani tersebut.

Hal inilah yang kemudian menarik minat anak-anak muda untuk menjadi penggerak sektor pertanian. Konon, penghasilan yang besar dan perputaran uang yang cepat hasil program minapadi telah menjadi magnet bagi anak-anak muda itu untuk ikut terjun. Di Margoluwih sendiri, sudah ada seba­nyak 20 pemuda yang mengikuti program yang merupakan gagasan FAO bersama dengan Kemente­rian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut.

Langkah ke-20 anak muda tersebut sudah se­layaknya ditiru anak-anak muda lainnya. Apalagi peluangnya cukup besar karena lahan yang tersedia cukup luas. Saat ini, Kabupaten Sleman telah men­canangkan 15 ribu hektare tanah pertanian berke­lanjutan, dimana tanah seluas itu harus tetap ber­fungsi sebagai lahan pertanian. Tidak boleh beralih fungsi menjadi bangunan atau jalan.

Salah satu contoh generasi milenial yang telah menangkap peluang ini adalah Agradaya, sebuah startup agrobisnis yang berpusat di Desa Sendang­rejo, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman. Pe­rusahaan sosial ini bertujuan untuk membangun sumber daya di pedesaan bersama dengan para petani di desa kawasan Perbukitan Menoreh untuk memproduksi rempah yang ditanam di areal hutan dan pekarangan dengan standar yang berorientasi pasar.

Salah satu pendiri Agradaya, Andhika Mahardika menerangkan startup yang telah dibangun selama em­pat tahun tersebut bekerja sama dengan 157 mitra petani rempah yang berada di dua desa Per­bukitan Menoreh. Kelebihan startup tersebut adalah menggunakan sistem natural framing sehingga tidak menggunakan bahan kimia yang merusak lingkungan. Meskipun demikian, pendapatan petani ju­ga meningkat hingga 50 persen.

Dua contoh di atas membuktikan bahwa pen­da­patan dari sektor pertanian jika ditekuni ternyata tak kalah dengan penghasilan dari menjadi pegawai di kota besar. Selain itu, dengan ‘turun ke sawah’ maka kesempatan memberdayakan masyarakat setempat juga lebih besar. Artinya, anak-anak muda saat ini yang dikenal sebagai generasi kreatif dan optimistis ini berkesempatan untuk membuat diri­nya berguna bagi orang-orang di sekitarnya. Uta­manya bagi masyarakat pedesaan yang kebanyakan masih berada di bawah garis kemiskinan.

Post navigation

Previous Post:

Keikhlasan Prof Mahfud

Next Post:

Berbicara Politik di Dunia Maya

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

About Me

Fernan Rahadi

Journalist from Yogyakarta

Follow Me

  • instagram
  • twitter
©2021 Fernan Rahadi - Powered by Simpleasy